Sejarah bukan sekadar catatan tentang siapa yang menang dan kalah, tetapi tentang siapa yang tetap setia pada kebenaran, ketika dunia memilih untuk berbohong.
Dan di antara bangsa-bangsa yang paling setia namun paling sering dikhianati,
terdapat dua nama yang saudara dalam nasib: Aceh dan Palestina.
Keduanya pernah berdiri gagah sebagai negeri merdeka —
Aceh dengan tamaddun Islamnya yang gemilang di ujung barat Nusantara,
Palestina dengan kemuliaan tanah sucinya di jantung dunia.
Keduanya juga pernah percaya pada janji — dan keduanya, akhirnya, dikhianati oleh perjanjian yang mereka hormati.
Tahun 1824, dunia menulis sebuah kesepakatan bernama Traktat London.
Di dalamnya, Inggris dan Belanda berjanji: Aceh adalah negeri berdaulat, tak boleh diganggu.
Tapi tak lama setelah tinta mengering, kapal-kapal Belanda berlayar menuju pantai Aceh,
membawa meriam, bukan persahabatan.
Perjanjian diingkari, istana diruntuhkan, dan darah para syuhada menetes di tanah yang pernah disebut “Serambi Mekah”.
Satu abad kemudian, kisah yang sama terjadi di Palestina.
Deklarasi Balfour 1917 menjadi awal dari malapetaka:
Inggris menjanjikan tanah Palestina kepada kaum Yahudi, tanpa bertanya kepada pemiliknya.
Bangsa yang menyambut pengungsi atas nama kemanusiaan,
akhirnya terusir dari rumahnya sendiri atas nama politik dan janji palsu.
Palestina kehilangan tanahnya,
seperti halnya Aceh kehilangan kedaulatannya —
keduanya bukan karena kalah perang, tapi karena terlalu percaya.
Tahun 1948, Soekarno datang ke Aceh.
Ia meminta agar Aceh bergabung dengan Republik Indonesia yang baru lahir.
“Karena kita satu daratan, satu bangsa, satu nasib,” katanya.
Ulama dan tokoh Aceh menolak, sebab Aceh sudah merdeka, sudah berdaulat.
Namun Daud Beureueh, tokoh besar yang dihormati, mengulurkan tangan —
karena ia percaya pada cita-cita persatuan umat dan keadilan bangsa.
Aceh pun membantu Republik yang sedang rapuh.
Dari emas rakyatnya, lahir pesawat Seulawah 1, pesawat pertama Indonesia —
bukti bahwa Republik ini berdiri di atas kemurahan hati Aceh.
Ironisnya, setelah semua itu, Aceh dijawab dengan penindasan dan peluru.
Janji otonomi dilupakan, martabat diinjak, dan darah kembali mengalir di tanah suci ini.
Dari situlah lahir Ikrar Lamteh, kemudian MoU Helsinki — dua perjanjian yang berusaha menutup luka,
tapi tak pernah benar-benar menyembuhkannya.
Karena perdamaian yang sejati tak akan lahir dari meja perundingan,
tetapi dari keadilan yang ditegakkan.
Kini, sejarah memanggil kita untuk menemukan jalan pulang.
Bukan sekadar jalan politik menuju kemerdekaan,
tapi jalan peradaban menuju kemuliaan.
Aceh tidak hanya pernah menjadi kerajaan, tapi pernah menjadi pusat ilmu, cahaya Islam, dan tamaddun di Asia Tenggara.
Dari Banda Aceh hingga Istanbul, nama Aceh pernah harum karena adab dan ilmunya, bukan semata karena pedangnya.
“Merdeka” bagi Aceh bukan berarti memisahkan diri,
tapi kembali kepada jati dirinya — sebagai bangsa yang adil, beriman, dan berdaulat atas nilai-nilai Islam yang luhur.
Bangsa yang menolak diperbudak oleh kekuasaan,
dan menolak menindas atas nama persatuan palsu.
Jika Palestina berjuang untuk merebut kembali tanah sucinya,
maka Aceh harus berjuang untuk merebut kembali kesadarannya —
kesadaran bahwa kemerdekaan sejati tidak diberikan, tapi diperjuangkan;
bahwa peradaban tidak diwariskan, tapi dibangun dengan iman dan ilmu.
Aceh pernah memberi dunia contoh tentang keteguhan,
dan kini dunia menunggu:
apakah Aceh akan kembali menjadi bangsa yang memimpin dengan akhlak dan pengetahuan,
atau sekadar menjadi catatan kaki dalam sejarah perjanjian yang diingkari?
Mungkin inilah saatnya kita belajar dari luka —
bahwa jalan pulang Aceh bukanlah ke belakang, tapi ke dalam:
kembali kepada iman, kepada ilmu, kepada marwah Islam yang dulu menjadikannya mercusuar dunia.
Sebab jika Aceh bisa berdiri kembali di atas nilai itu,
maka dunia Islam akan kembali menoleh —
dan sejarah akan berbisik lembut:
“Telah kembali cahaya dari barat, dari tanah Aceh yang terlalu percaya — tapi tak pernah menyerah.”
Apakah kamu ingin saya bantu ubah versi ini menjadi naskah orasi publik / video refleksi berdurasi ±3 menit (dengan ritme dan jeda baca yang menggugah)? Itu bisa sangat kuat jika dibacakan dengan suara naratif, musik latar lembut, dan visual sejarah Aceh–Palestina.[]
