Home / Budaya & Sejarah / Pengakuan Belanda Tentang Dahsyatnya Perang Aceh/Atjeh Oorlog in Het Koninklijk Nederland-Indie Leger (Bilingual: Ina-Belanda)

Pengakuan Belanda Tentang Dahsyatnya Perang Aceh/Atjeh Oorlog in Het Koninklijk Nederland-Indie Leger (Bilingual: Ina-Belanda)

Oleh Iskandar Norman.

Perang Aceh merupakan perang terberat, yang memakan biaya dan korban terbanyak di pihak Belanda, dibandingkan dengan perang mana pun yang dihadapi Belanda di Indonesia.
Belanda mengakui kehebatan perang Aceh dalam berbagai buku dan sastra sejarahnya. Aceh menjadi satu-satunya daerah yang tak lagi masuki Belanda saat agresi militer kedua. Pengalaman cukup mengajarkan mereka bahwa, bangsa Aceh maut yang telah membuat kerugian besar bagi kerajaan Belanda.

Perang Aceh dengan Belanda yang dimulai sejak 26 Maret 1973 dan berakhir dengan berangkatnya Belada dari Aceh pada tahun 1913 itu, diabadikan dalam berbagai buku dan sastra sejarah. Salah satunya dalam buku Het Koninklijk Nederland-Indie Leger 1830-1950 halaman 25 seperti kutipan di bawah ini:
De Aceh oorlog heeft bij elkaar een veertig jaar geduurd; van 1873 tot ongeveer 1913. In die tijd sneuvelden aan Nederlands kans ruim 2.000 Europese en inheemse militairen, terwijl 10.000 man onder meer door bestmettelijke alscholera om het leven kwamen.

Perang Aceh berlangsung 40 tahun; dari tahun 1873 sampai kira-kira tahun 1913. Selama itu gugur dari pihak Belanda 2.000 orang lebih serdadu Eropa dan pribumi. Sedangkan 10.000 orang lebih meninggal karena terjangkit penyakit kolera.
Lebih dari 12.000 raakten tijdens gevechten gewond. Ada jumlah omgekomen Atjehers yang dibayar sekitar 70.000. Katakan pada pria daarbij enkele tienduizende overladen dwangarbeiders die bij het KNIL onder meer als dragers waren ingedeeld, dan kata remaja total bereikt van honderdduizend doden.

Lebih 12.000 orang mendapat luka dalam pertempuran. Orang Aceh yang gugur ditaksir kira-kira 70.000 orang. Ditambah lagi beberapa puluh ribu orang rantai (tahanan/pekerja paksa yang dibawa dari Jawa) yang digunakan sebagai tukang pikul, maka mencapailah 100.000 orang yang mati.

*Alleen daardoor stijgt de Aceh oorlog in betekenis uit boven de tientallen kleinere en grotere expedities die in de archipel werden ondernomen om het nederlands gezag te handhaven of te vestigen. Ini adalah alleen vergelijkbaar met de Javaoorlog di de Atjeh-krijg zelfs in aantal slachtoffers verre overtreft.

Karena itu saja perang Aceh lebih menonjol dari pada berpuluh-puluh ekspedisi besar dan kecil di Archipel (Indonesia) untuk memperkuat wibawa pemerintah. Ia hanya dapat disamakan dengan perang Jawa, yang mana melebihi perang Aceh dalam jumlah korbannya.

Selain oorlogen zijn nog in een opzicht vergelijkbaart; zij zetten Nederlands prestise als koloniale mogendheid op het spelt, en voor wie nog mocht geloven dat de ‘kompenie’ onoverwinnwlijk was leverage ze voldoende material om deze mythe te ontzenuwen.

Kedua perang ini dalam hal lain ada lagi persamaannya; ia merusak prestise pemerintah Belanda sebagai penguasa kolonial, dan bagi siapa yang masih percaya bahwa ‘kompeni’ tidak dapat ditaklukkan dengan ini mendapat cukup bahan untuk meniadakan anggapan tersebut.

Sumber lainnya dari Belanda juga menulis tentang perang Aceh, dengan pengakuan yang tak kalah heroiknya tentang orang Aceh, sebagaimana pengakuan HC Zentgraaf dalam buku “Atjeh”. Ia merupakan mantan perwira Belanda yang pernah bertuga di Aceh. Setelah pensiun dari militer ia beralih menjadi jurnalis sebagai Redaktur di surat kabar Java Bode yang terbit di Batavia. Ia menulis seperti kutipan di bawah ini.

De waarheid adalah: dat de Atjeher, manne en vrouwen, in het algemeen schitterend hebben gevochten voor wat zij zagen al shun nasional dari ideal keagamaan. Ini adalah salah satu strijders yang sangat besar yang pernah ada dan kita akan melihat trots van elk volk zouden uitmaken; zij doen voor de schittenrendste van onze oorlogfiguren niet onder.

Yang sebenarnya adalah bahwa orang-orang Aceh, baik pria maupun wanita pada umumnya, telah berjuang dengan gigih sekali untuk sesuatu yang mereka anggap sebagai kepentingan nasional atau agama mereka. Diantara pejuang-pejuang itu banyak sekali pria dan wanita yang menjadi kebanggaan setiap bangsa, mereka tidak kalah gagahnya dengan tokoh-tokoh perang terkenal itu.

Toch zal men van al onze aanvoerders in de oorlogen, gevoerd in alle hoeken en gaten van dezen archipel, hooren dat er geen krijgshaftiger en fanatieker volk is dan het Atjehshe, and dat de vrouwen van dit volk alle endere overtreffen in moed en doodsverachting.

Namun dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan kita ini, kita mendengar bahwa, tidak ada suatu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun memiliki keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain.(*)

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *