Home / Ekonomi & Investasi / Pemotongan TKD, Bentuk Penjajahan Fiskal terhadap Aceh

Pemotongan TKD, Bentuk Penjajahan Fiskal terhadap Aceh

Pemotongan TKD mencerminkan adanya ketimpangan dalam tata kelola keuangan negara. Membuat belanja daerah tersendat dan daya serap anggaran menurun.

koranaceh.id | Banda Aceh – Pemotongan Transfer ke Daerah (TKD) oleh pemerintah pusat dinilai bukan sekadar kebijakan efisiensi, melainkan bentuk penjajahan fiskal modern yang memperlihatkan betapa timpangnya tata kelola keuangan negara. 

Di saat rakyat menghadapi stagnasi ekonomi, pemerintah justru menyimpan ratusan triliun uang publik di rekening perbankan.

Hingga akhir September 2025, tercatat sekitar Rp234 triliun dana negara masih mengendap di bank, baik di Bank Indonesia maupun bank umum lainnya. Padahal, realisasi transfer anggaran sudah mencapai Rp664 triliun atau 74 persen dari pagu APBN. 

Dana yang seharusnya menggerakkan ekonomi daerah justru menjadi idle money — uang tidur yang tak memberi manfaat bagi rakyat.

“Ini bukan sekadar kelalaian administratif. Pemerintah pusat sudah lama menoleransi praktik penyimpanan dana publik di bank untuk menikmati selisih bunga. Ini adalah bentuk manipulasi fiskal terselubung,” ujar Dr. Taufiq Abdul Rahim, SE., M.Si., Ph.D pengamat ekonomi di Banda Aceh, Jumat (24/10/2025).

Akibatnya, belanja daerah tersendat dan daya serap anggaran menurun. Uang yang seharusnya beredar di pasar rakyat terjebak dalam sistem keuangan yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Situasi ini semakin memperkuat ketergantungan ekonomi daerah terhadap pusat.

Aceh Terkunci dalam Sistem Ketergantungan

Bagi Aceh, menurut Dr. Taufiq Abdul Rahim, pemotongan TKD sebesar 25 persen bukan perkara kecil. Sebagian besar anggaran belanja publik Aceh bersumber dari pusat, sementara kemampuan daerah mengoptimalkan pendapatan sendiri masih terbatas. Di sisi lain, instabilitas politik dan bongkar pasang pejabat di jajaran SKPA membuat birokrasi tidak mampu bergerak cepat dan produktif.

“Birokrat di Aceh bekerja dalam bayang-bayang politik. Jabatan bisa digeser kapan saja bila tak sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu,” katanya

Kondisi ini membuat Aceh terjebak dalam relasi patron-client terhadap Jakarta. Otonomi khusus yang diberikan pascaperjanjian damai Helsinki seolah hanya simbol tanpa makna. Daerah tak memiliki kuasa penuh untuk mengelola sumber daya alam dan potensi ekonominya sendiri.

Otsus dan Ketimpangan yang Tak Pernah Selesai

Sejak 2008, Aceh telah menerima lebih dari Rp110 triliun dana otonomi khusus (Otsus). Namun, berbagai kajian menunjukkan hanya sekitar 27 persen yang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh rakyat. 

Sisanya diduga berputar di kalangan elite politik, birokrat, dan kelompok kepentingan yang menikmati rente anggaran.

Sekitar 70 hingga 80 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) habis untuk belanja rutin, proyek pengadaan, dan kegiatan administratif. Sektor riil seperti pertanian, perikanan, dan UMKM yang menjadi tulang punggung rakyat tetap berjalan di tempat.

“Selama uang negara lebih banyak disimpan daripada dibelanjakan, jangan harap ada pertumbuhan ekonomi yang adil. Ini bukan hanya masalah fiskal, tapi masalah keadilan sosial,” tambahnya

Kemandirian Ekonomi Aceh: Jalan yang Tertunda

Kritik terhadap pemotongan TKD menunjukkan satu hal: Aceh butuh ruang untuk mengatur dirinya sendiri. Selama kewenangan pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi masih di tangan pusat, maka ketergantungan fiskal akan terus mengakar.

“Pemotongan TKD hanyalah puncak dari gunung es penjajahan fiskal terhadap Aceh,” kata Taufiq. “Tanpa self-determination ekonomi sebagaimana semangat MoU Helsinki, Aceh hanya akan menjadi penerima belas kasihan Jakarta, bukan subjek pembangunan,” tegasnya. []

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *