
Dalam sejarah panjang bangsa, yang bertahan bukan yang paling kaya, tapi yang paling mandiri. Kini giliran Aceh membuktikan: apakah otonomi khusus hanya status di kertas, atau semangat hidup yang benar-benar menyala di dada rakyatnya.
koranaceh.id | Editorial ‒ Ketika angin perubahan datang dari pusat kekuasaan, yang paling dulu bergoyang bukanlah gedung megah kementerian, melainkan dapur-dapur di daerah. Pemotongan Transfer ke Daerah (TKD) sebesar 25 persen oleh pemerintah pusat bukan hanya mengubah tabel anggaran, tetapi juga mengguncang sendi psikologis para pengelola keuangan di daerah.
Di Aceh, yang telah lama hidup di bawah bayang-bayang dana otonomi khusus, kebijakan ini seperti cermin besar: memperlihatkan wajah fiskal kita yang masih bergantung dan rapuh. Dampak paling nyata dari pemotongan TKD tentu menyentuh pembiayaan gaji ASN dan PPPK.
Baca Juga:
Pemerintah daerah kini dipaksa menimbang ulang setiap rupiah yang keluar dari kas. Jika dulu belanja pegawai berjalan tenang di jalur rutin, kini harus bersaing dengan kebutuhan pembangunan dan pelayanan publik yang juga mendesak.
Stabilitas fiskal daerah menjadi seperti perahu di laut tenang yang tiba-tiba diterpa badai. Masih bisa berlayar, tapi dengan keseimbangan yang harus dijaga hati-hati. Aceh kini diuji bukan dalam soal “berapa besar dana diterima”, melainkan seberapa bijak ia mampu menata pengeluaran.
Secara politik, pemangkasan TKD memperlihatkan desentralisasi fiskal yang belum matang. Daerah diberi kewenangan luas di atas kertas, tetapi sumber dayanya tetap dikendalikan dari pusat. Aceh, yang seharusnya menjadi laboratorium otonomi khusus, justru kembali bergantung pada irama kebijakan nasional.
Otonomi yang ideal seharusnya memberi ruang bagi daerah untuk menentukan prioritas fiskalnya sendiri. Namun realitas berbicara lain: otonomi tanpa otonomi fiskal hanyalah bayangan tanpa tubuh. Kemandirian daerah sulit tumbuh jika setiap tahun masih menunggu angka transfer dari Jakarta untuk menyalakan
mesin birokrasi.
Baca Juga:
Secara teoritis, berkurangnya TKD bisa menjadi dorongan bagi Aceh untuk memperkuat Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tetapi bagaimana mungkin ketika basis pajak lokal sempit, dan ekonomi produktif belum berdenyut kuat?
Keterbatasan infrastruktur, minimnya investasi lokal, dan lemahnya sektor industri menjadikan Aceh seperti ladang subur yang belum digarap. Ironinya, pemotongan dana pusat justru mempersempit ruang untuk memperbesar PAD. Akhirnya, daerah kembali terjebak pada lingkaran yang sama: ketergantungan struktural pada dana pusat, tanpa keberanian membangun sumber kekuatan sendiri.
Apakah adil memotong dana daerah secara merata tanpa mempertimbangkan struktur ekonomi dan ketimpangan wilayah? Keadilan fiskal seharusnya bersifat asimetri, bukan seragam. Aceh, Papua, dan Maluku tentu tidak bisa disamakan dengan Jawa Barat atau Bali dalam hal kapasitas fiskal dan PAD. Namun kebijakan nasional sering berjalan dengan logika makro—sementara realitas daerah berwajah mikro, penuh ketimpangan dan sejarah panjang ketertinggalan.
Ketika pusat memangkas, daerah seperti Aceh harus memangkas harapan. Dan di sanalah letak luka keadilan fiskal yang belum sembuh. Namun setiap krisis menyimpan benih kebangkitan. Pemotongan TKD ini, jika dibaca dengan jernih, bisa menjadi momentum bagi reformasi fiskal Aceh.
Baca Juga:
Beberapa langkah perlu segera diambil: Menata ulang belanja agar lebih produktif dan berpihak pada rakyat, Mengoptimalkan aset daerah dan BUMD, Memperkuat digitalisasi pajak, Dan yang paling penting, membangun kesadaran baru: bahwa uang rakyat harus kembali menjadi modal rakyat.
Bank Aceh Syariah, misalnya, tak semestinya hanya menjadi tempat parkir dana di SBI. Dengan hampir delapan triliun dana mengendap, seharusnya ia menjadi motor pembiayaan ekonomi rakyat, bukan sekadar penonton di pinggir arena.
Mungkin inilah saatnya Aceh menatap dirinya sendiri—bukan ke Jakarta, bukan ke Beijing, bukan ke Riyadh. Pemotongan TKD bukan akhir, tapi uji kedewasaan fiskal. Kita harus memilih: tetap menjadi daerah penerima, atau mulai menjadi daerah penghasil.
Dalam sejarah panjang bangsa, yang bertahan bukan yang paling kaya, tapi yang paling mandiri. “Berdikari — berdiri di atas kaki sendiri — adalah inti dari kemerdekaan.” Kini giliran Aceh membuktikan: apakah otonomi khusus hanya status di kertas, atau semangat hidup yang benar-benar menyala di dada rakyatnya. []
