
Penulis:
Hamdan Budiman | Pemred Koran Aceh
“Kalau yang bersih dianggap ancaman, berarti kita sedang hidup dalam sistem yang kotor.”
Kebenaran yang Dipolisikan
Dalam politik yang takut pada transparansi, keberanian bicara sering disamakan dengan serangan. Tapi ketika yang bersih justru dicurigai, sesungguhnya penyakitnya bukan pada orang yang berbicara — melainkan pada sistem yang menolak dibersihkan.
KoranAceh.id | Editorial ‒ Serangan terhadap Purbaya Yudhi Sadewa tampaknya bukanlah sesuatu yang spontan. Seperti pengakuan Menteri Keuangan fenomenal ini, serangan hadir dengan pola, narasi, dan ritme yang terencana — sebagaimana cara lama yang selalu digunakan untuk melawan perubahan. Dalam sejarah negeri ini, kebenaran memang kerap berhadapan dengan ketakutan. Dari masa ketika suara mahasiswa dibungkam di awal Orde Baru, hingga kini ketika kritik disamarkan sebagai serangan politik, pola itu tidak pernah benar-benar berubah: kebenaran dipolisikan, moralitas dipersekusi.
Namun namun seperi pengakuannua, dia tidak datang ke politik untuk menyerang siapa pun, tetapi datang untuk melawan kebiasaan: kebiasaan menutup kebenaran, kebiasaan menormalkan penyimpangan, dan kebiasaan menganggap diam sebagai tanda aman. Dalam sistem yang lama, diam dianggap kebijaksanaan. Padahal dalam demokrasi sejati, diam adalah bentuk pengkhianatan terhadap akal sehat publik.
Dari Reformasi ke Reaksi
Katanya, dia tidak berniat menyerang siapa pun, tetapi bila kebenaran dianggap sebagai serangan, mungkin bangsa ini sudah terlalu lama hidup di bawah bayang-bayang kebohongan.
Kita sedang menyaksikan paradoks yang menyedihkan: di negeri yang mengaku demokratis, keterbukaan justru dicurigai, dan transparansi dituduh sebagai ancaman. Dalam politik yang sehat, kejujuran adalah norma; di sistem yang sakit, ia berubah menjadi bahaya.
Ada yang menuduh langkahnya sekadar pencitraan. Namun tuduhan seperti itu lahir dari budaya politik yang kehilangan kejujuran moral. Dalam demokrasi modern, keterbukaan bukanlah keberanian — melainkan kewajiban. Tapi ketika kewajiban moral berubah menjadi risiko politik, maka yang rusak bukan individunya, melainkan sistem yang menjeratnya.
Ketika Sistem Menolak Disentuh
Kini mereka mulai menggali, mencari-cari sesuatu untuk menjatuhkan. Biarlah. Sebab yang akan mereka temukan bukan tentang Purbaya, melainkan tentang diri mereka sendiri: tentang bagaimana sistem lama bekerja, tentang kepentingan yang saling menutupi, dan tentang jaringan yang menolak disentuh reformasi.
Purbaya memilih untuk tidak berteriak membela diri, karena kebenaran tidak membutuhkan kebisingan. Dalam sejarah, suara paling keras justru lahir dari keheningan yang yakin pada kejujuran. Dari Gandhi di India hingga Hatta di Banda Neira — mereka membuktikan bahwa moralitas tidak selalu memerlukan pengeras suara.
Dalam sistem yang takut pada kejujuran, pembenaran akan selalu lebih keras daripada kebenaran.
Kebenaran yang Tidak Bisa Dibungkam
Menurut pengakuan Purbaya, semua data yang ia pegang telah diverifikasi. Semua transaksi telah dicocokkan. Semua komunikasi telah diserahkan kepada lembaga resmi negara. Langkah itu tidak dimaksudkan untuk menghancurkan seseorang, tetapi untuk menyelamatkan negeri dari permainan yang terlalu lama dibiarkan.
Dan seperti banyak episode dalam sejarah bangsa ini, mereka yang bicara benar justru sering kali menjadi korban fitnah. Padahal, bila ada yang merasa terancam oleh kebenaran, sesungguhnya ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan.
Kita sering berbicara tentang reformasi, tetapi siapa yang sungguh berani menyentuh akar masalahnya? Reformasi sejati tidak berhenti pada slogan dan seremoni. Purbaya menuntut keberanian untuk menyingkap kepalsuan yang menumpuk, bahkan bila itu berarti menantang kenyamanan banyak pihak.
Bila hari ini rakyat mulai berani bersuara, maka bagi Purbaya, tugasnya hanya satu: memastikan suara itu tidak dibungkam.
Perang Melawan Ketakutan
Tentu Purbaya tidak ingin dikenang karena keberanian, melainkan karena keteguhan untuk tidak diam ketika yang lain memilih diam. Dia tahu, membongkar sistem lama berarti mengusik banyak kenyamanan. Tetapi apa arti jabatan dan pangkat bila harus dibayar dengan kebisuan terhadap kebenaran?
Kalau yang bersih dianggap ancaman, berarti kita sedang hidup di dalam sistem yang kotor. Kalau kebenaran dipelintir menjadi fitnah, berarti kekuasaan sedang kehilangan kejujurannya. Dan jika rakyat mulai menyadari hal itu, maka perubahan bukan hanya mungkin — tetapi tak terelakkan. Seperti air yang mencari celah, kebenaran akan selalu menemukan jalannya, bahkan dari dinding yang paling rapat sekalipun.
Hari ini, Purbaya berbicara tentang apa yang selama ini ditutupi. Satu nama mungkin telah jatuh, tetapi perjuangan melawan gelap baru saja dimulai. Ini bukan perang politik, melainkan perang melawan ketakutan. Karena pada akhirnya, kebenaran tidak perlu dibela — ia hanya perlu diteruskan. Dan siapa pun yang berani meneruskannya, sedang menulis babak baru dalam sejarah bangsa ini. []
