KoranAceh.id | Tajuk – Proyek kereta cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) kembali menyeruak ke permukaan, kali ini bukan karena kecepatan atau kecanggihannya, tetapi karena beban utang dan tanggung jawab politik yang kini berada di pundak Presiden Prabowo Subianto. Dari awal, proyek ini penuh kontroversi: berpindah dari Jepang ke Tiongkok, menelan biaya jauh di atas perhitungan, disertai janji tak menggunakan dana APBN—namun kini justru pemerintah menanggung utang hingga Rp 1,2 triliun per tahun.
Presiden Prabowo menegaskan bahwa dirinya siap bertanggung jawab atas proyek tersebut, menyebutnya sebagai bagian dari public service obligation—kewajiban negara melayani kepentingan publik. Namun pernyataan itu menimbulkan tafsir luas: apakah tanggung jawab itu berarti menanggung kesalahan, atau menegakkan keadilan bagi proyek yang sejak awal diduga sarat penyimpangan?
Dari sisi politik, langkah ini mengundang pertanyaan besar. Apakah DPR dan partai-partai pendukung pemerintah akan menyetujui alokasi APBN untuk menutup utang dan kerugian operasional proyek yang bahkan belum mencapai titik impas? Di sisi lain, sebagian anggota legislatif sendiri tengah terseret persoalan etik dan integritas. Sementara publik menuntut transparansi: apakah akan dibentuk panitia khusus (Pansus) untuk mengaudit proyek “super cepat” yang justru berlari lambat dalam mengembalikan kepercayaan rakyat?
Dokter dan ilmuwan Tifauzia Tyassuma menafsirkan pernyataan Presiden sebagai “peringatan keras” bagi para oknum yang bermain di balik proyek Whoosh. Menurutnya, tanggung jawab presiden bukan berarti menanggung dosa masa lalu, tetapi memastikan keadilan ditegakkan dan uang rakyat tidak terus tersedot ke lubang tanpa dasar. “Ibarat Presiden jadi pencuci piring kotor yang ditinggal pesta pora para tikus dan curut,” tulisnya—sindiran tajam terhadap warisan kebijakan rezim sebelumnya.
Kini, publik menanti langkah konkret: apakah “tanggung jawab” berarti menutup kesalahan masa lalu dengan uang rakyat, atau justru membuka jalan bagi penegakan hukum dan audit menyeluruh terhadap proyek yang disebut-sebut penuh mark up, monopoli, dan ketergantungan pada tenaga kerja asing itu.
Presiden Prabowo telah berkata, “Saya yang bertanggung jawab.”
Namun tanggung jawab itu akan bermakna sejauh apa?
Apakah untuk melindungi warisan buruk masa lalu—atau menegakkan keadilan agar rakyat tak terus membayar mahal untuk sebuah “kecepatan” yang justru meninggalkan beban panjang bagi generasi berikutnya.[]

















