Home / Opini / Tajuk / RAPBA Bukan Sekadar Formalitas, Agar Triliunan Anggaran Bermamfaat

RAPBA Bukan Sekadar Formalitas, Agar Triliunan Anggaran Bermamfaat

Pembahasan anggaran jangan jadi ritual dua hari tanpa arah pembangunan.

Koranaceh.id | Tajuk – Proses pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) 2026 kembali menyita perhatian publik. Bukan hanya karena besarnya nilai anggaran yang mencapai triliunan rupiah, tetapi karena cara pembahasannya yang dinilai terburu-buru dan minim transparansi. Dokumen penting seperti KUA–PPAS diserahkan pada hari Rabu dan langsung dijadwalkan paripurna dua hari kemudian—praktik yang jauh dari ideal untuk ukuran sebuah perencanaan fiskal daerah.

Koordinator Masyarakat Transparansi Anggaran (MaTA), Alfian, menilai langkah tersebut mengabaikan prinsip akuntabilitas dan transparansi publik. Kritik ini bukan tanpa dasar. Dokumen setebal KUA–PPAS bukan sekadar tumpukan angka yang bisa dibaca sepintas, melainkan fondasi kebijakan ekonomi, sosial, dan pembangunan daerah. Jika dibahas dalam waktu dua hari, yang tersisa hanyalah formalitas politik tanpa substansi.

Inilah persoalan lama yang kembali berulang: RAPBA terlalu sering direduksi menjadi sekadar agenda tahunan antara eksekutif dan legislatif. Padahal, di sanalah arah pembangunan Aceh ditentukan—apakah berpihak kepada rakyat kecil, memperkuat ekonomi daerah, dan meningkatkan pelayanan publik, atau justru melahirkan proyek-proyek tanpa arah yang menguntungkan segelintir pihak.

Anggaran publik sejatinya adalah cermin moral pemerintahan. Di dalamnya tercermin nilai keadilan sosial dan prioritas pembangunan. Karena itu, proses penyusunan RAPBA tidak boleh dikejar hanya demi tenggat waktu atau pencitraan politik. Kecepatan bukan jaminan efisiensi, bahkan sering kali menjadi alasan untuk menutup ruang diskusi dan kritik.

Dana Rp10 triliun bukan angka kecil. Itu adalah hasil keringat rakyat Aceh yang dibayarkan melalui pajak dan sumber daya alam yang dikelola atas nama mereka. Setiap rupiah dari anggaran itu harus kembali kepada rakyat dalam bentuk pembangunan yang nyata, bukan dalam laporan administrasi yang sempurna di atas kertas.

Tahun anggaran 2026 menjadi momentum penting. Untuk pertama kalinya, seluruh program pembangunan akan berjalan penuh di bawah kepemimpinan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem). Karena itu, RAPBA 2026 harus disusun berdasarkan arah kebijakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh 2025–2030, yang menjadi dokumen induk seluruh kebijakan daerah. Tanpa konsistensi terhadap RPJM, APBA hanya akan menjadi daftar proyek tanpa visi.

Sinkronisasi antara RPJM, rencana strategis perangkat daerah, dan pokok-pokok pikiran (pokir) dewan adalah hal mutlak. Pokir yang tidak sejalan dengan RPJM sebaiknya disesuaikan sejak awal, bukan dipaksakan masuk di tengah jalan. Sebab, di sinilah sering muncul apa yang disebut publik sebagai “penumpang gelap anggaran” — program tanpa dasar yang disisipkan demi kepentingan tertentu.

Pemerintah Aceh dan DPRA harus berani menegakkan disiplin perencanaan. Setiap program harus memiliki legitimasi dalam perencanaan jangka menengah dan mendukung visi Gubernur: membangun Aceh yang Islami, maju, bermartabat, dan berkelanjutan.

RAPBA bukan hanya persoalan angka, melainkan simbol tanggung jawab moral pemerintah terhadap masa depan rakyat. Jika disusun secara terburu-buru dan tertutup, anggaran itu hanya akan melahirkan ketidakpercayaan publik. Sebaliknya, bila dilakukan dengan transparansi, partisipasi, dan komitmen terhadap perencanaan jangka menengah, maka RAPBA akan menjadi alat perubahan nyata bagi Aceh.

Yang dibutuhkan sekarang bukan sekadar percepatan pengesahan, melainkan ketelitian, kesesuaian, dan kejujuran dalam setiap langkah penyusunan. Karena hanya dengan cara itu, triliunan rupiah anggaran publik benar-benar bisa bermamfaat bagi rakyat Aceh, bukan sekadar angka di atas kertas.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *