Oleh Zaki Ulya, Mahasiswa Program Doktor Hukum, Fakultas Hukum Universitas Andalas/ Dosen Fakultas Hukum Universitas Samudra
Aceh dikenal sebagai salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekhususan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kekhususan itu tidak hanya terkait dengan pelaksanaan Syariat Islam, tetapi juga pengelolaan kehidupan adat istiadat. Hal ini sejalan dengan amanah Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945, yang menegaskan pengakuan negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Dalam praktiknya, kehidupan adat di Aceh dijalankan oleh sejumlah lembaga adat yang memiliki wilayah kerja masing-masing. Qanun Aceh Nomor 8 dan 9 Tahun 2008 mengatur struktur lembaga tersebut—mulai dari Majelis Adat Aceh hingga ke tingkat gampong. Mereka memiliki peran penting dalam menjaga nilai budaya, menyelesaikan konflik sosial, hingga melindungi sumber daya alam.
Namun, belakangan lembaga-lembaga adat itu kerap terpinggirkan. Banyak kasus terkait tanah ulayat atau batas wilayah adat yang tidak mendapat ruang penyelesaian melalui mekanisme adat. Sengketa tersebut justru berujung di lembaga negara, yang lebih mengedepankan bukti administratif daripada pengetahuan lokal. Kondisi ini menunjukkan bahwa lembaga adat masih sering diperlakukan sebatas simbol, bukan subjek hukum yang berdaulat.
Kedaulatan Adat dan Legitimasi Peta Wilayah
Kedaulatan adat sejatinya adalah pengakuan atas hak masyarakat hukum adat untuk mengatur dan mengelola kehidupan sosial-budaya serta wilayahnya berdasarkan hukum adat. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 memberi landasan kuat bagi pengakuan itu. Seperti diungkapkan Jimly Asshiddiqie (2006), pengakuan terhadap masyarakat hukum adat merupakan bentuk “konstitusionalisasi hukum adat” dalam sistem hukum nasional.
Sayangnya, pengakuan konstitusional belum sepenuhnya diterjemahkan dalam praktik administratif. Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan peta wilayah adat yang diakui secara resmi oleh negara. Padahal, peta wilayah bukan hanya soal administrasi, tetapi juga simbol kedaulatan masyarakat adat yang menggambarkan sejarah, nilai, dan pengetahuan lokal tentang ruang hidup mereka.
Secara faktual, sebagaimana dilansir Antara News dan BRWA, data terkini memperlihatkan bahwa hingga tahun 2024, luas hutan adat di Aceh yang telah mendapatkan penetapan resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru mencapai sekitar 22.549 hektare, mencakup delapan unit hutan adat yang tersebar di sejumlah kabupaten, antara lain Aceh Jaya, Pidie, dan Bireuen. Jumlah tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan usulan pengakuan masyarakat adat yang mencapai 105.147 hektare (Badan Registrasi Wilayah Adat: 2024). Ketimpangan ini menunjukkan adanya kesenjangan yang cukup lebar antara klaim masyarakat adat dan pengakuan formal oleh negara. Kondisi tersebut sekaligus menegaskan bahwa meskipun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012, telah memberikan dasar konstitusional yang kuat bagi pengakuan hutan adat, implementasi perlindungan hak-hak masyarakat adat di Aceh masih sangat terbatas pada tataran praktik.
Sebagaimana diungkapkan Safitri (2012), peta wilayah adat menjadi instrumen legitimasi penting untuk memperkuat klaim hak ulayat sekaligus dasar penyelesaian sengketa. Di Aceh, peta semacam ini akan memperkuat posisi lembaga adat seperti Panglima Laot, Keujrun Blang, atau Pawang Glee yang selama ini berperan menjaga sumber daya alam secara tradisional.
Ungkapan masyarakat Aceh, “Tanoh ata geutanyo, surat ata gob” (tanah milik kita, surat milik orang lain), menjadi refleksi pahit dari lemahnya legitimasi hukum adat. Lynch dan Harwell (2002) menyebut, pemetaan partisipatif bisa menjadi jembatan antara pengetahuan lokal dan sistem hukum formal untuk memastikan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Peta Adat untuk Keadilan dan Kelestarian
Lebih dari sekadar dokumen batas tanah, peta wilayah adat juga merekam tata kelola ekologis yang diwariskan secara turun-temurun. Batas-batas itu mengandung nilai konservasi seperti uteun larangan (hutan larangan), zona tangkapan ikan Panglima Laot, dan lahan cadangan untuk generasi mendatang. Artinya, peta adat tidak hanya memperkuat legitimasi hukum, tetapi juga menjamin kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan.
Tanpa dokumen semacam ini, banyak keputusan adat kehilangan dasar administratif yang diakui negara. Akibatnya, penyelesaian konflik agraria dan tapal batas sering berakhir di pengadilan formal yang tidak selalu memahami konteks adat. Dengan adanya peta wilayah adat, proses tersebut dapat dijembatani—mewujudkan integrasi antara kearifan lokal dan hukum nasional sebagaimana semangat Pasal 18B UUD 1945.
Rekomendasi: Dari Simbol ke Substansi
Agar kedaulatan adat tidak berhenti pada tataran simbolik, sejumlah langkah strategis perlu ditempuh. Pertama, pemerintah bersama masyarakat adat perlu melakukan pemetaan partisipatif yang melibatkan lembaga adat, akademisi, serta instansi teknis seperti ATR/BPN dan KLHK. Kedua, hasil pemetaan itu perlu diintegrasikan ke dalam sistem administrasi pertanahan dan tata ruang nasional agar menjadi dasar penyelesaian sengketa, pemberian izin, dan perencanaan pembangunan. Ketiga, kapasitas lembaga adat harus diperkuat melalui dukungan regulasi, anggaran, dan pendidikan hukum, sehingga mereka mampu berperan aktif tidak hanya dalam pelestarian budaya tetapi juga dalam tata kelola sumber daya dan penyelesaian konflik. Keempat, lembaga yudisial seperti Mahkamah Konstitusi dan pengadilan harus mengambil langkah progresif untuk mengakui keputusan adat sebagai alat bukti sah dalam perkara kewilayahan.
Dengan langkah-langkah tersebut, pengakuan terhadap kedaulatan adat di Aceh tidak lagi berhenti sebagai simbol, tetapi menjadi praktik nyata dalam sistem hukum nasional yang berkeadilan, demokratis, dan berkelanjutan.[]
DATA PENULIS
Nama Lengkap : Zaki Ulya
Tempat/Tanggal Lahir : Aceh Utara/ 22 Februari 1985
Status : Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Andalas
Pekerjaan : Dosen Fakultas Hukum Universitas Samudra
Email/ No. HP/WA : 2530112009_zaki@student.unand.ac.id/ 082288107891
Nama Bank/ No Rekening : Bank Syariah Indonesia/ 1049611378

















