
Sofyan menilai evaluasi Otsus Aceh tak bisa dilepaskan dari faktor struktural nasional. Ia menekankan perlunya kerangka evaluasi bersama Aceh–Pusat.
KoranAceh.id | Lhokseumawe – Pernyataan anggota Komisi III DPR RI Benny K. Harman dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang mempertanyakan capaian Aceh selama 20 tahun Otonomi Khusus kembali memicu diskusi publik. Meski pertanyaan tersebut dianggap relevan sebagai pemantik evaluasi, namun hal itu dinilai tidak mencerminkan keseluruhan persoalan bila dipisahkan dari konteks kebijakan nasional.
Sofyan, S.Sos, pemerhati kebijakan publik Aceh, mengatakan penilaian terhadap Otonomi Khusus Aceh membutuhkan pendekatan evaluatif yang komprehensif. Menurutnya, penggunaan dana yang mencapai sekitar Rp 100 triliun selama dua dekade itu harus ditempatkan dalam kerangka yang terukur. “Bukan melalui stigma bahwa Aceh tidak melakukan apa-apa,” ujarnya, dalam keterangan tertulis yang diterima koranaceh.id, Sabtu (15/11/2025).
Sofyan menjelaskan, sejumlah hambatan yang membatasi efektivitas Otsus bersifat struktural. Pertama, desain fiskal yang menurutnya masih lebih mencerminkan skema pemulihan pascakonflik daripada mendorong kemandirian ekonomi. Kedua, kewenangan Aceh kerap berbenturan dengan undang-undang sektoral, sehingga berbagai qanun dibatalkan dan iklim investasi terganggu. Ketiga, kapasitas kelembagaan daerah melemah akibat warisan konflik panjang, yang membuat perbaikan birokrasi berjalan lambat.
“Masalah Aceh bukan semata manajemen lokal, tetapi persoalan struktural yang membutuhkan desain kebijakan nasional yang lebih tepat,” kata Sofyan.
Ia menyebut evaluasi Otsus tidak dapat membebankan tanggung jawab sepenuhnya kepada pemerintah Aceh. Menurutnya, pemerintah pusat juga memiliki peran besar dalam memastikan pelaksanaan MoU Helsinki berjalan konsisten—mulai dari regulasi turunan, sinkronisasi kewenangan, hingga kesepakatan indikator evaluasi. “Tanpa baseline bersama, evaluasi apa pun tidak memiliki dasar ilmiah,” ujarnya.
Sofyan juga menanggapi pandangan yang menyarankan agar Aceh tidak kembali merujuk pada MoU Helsinki. Baginya, pendekatan tersebut keliru. Ia menegaskan bahwa MoU Helsinki merupakan landasan utama lahirnya UUPA dan mengatur hubungan politik Aceh–Jakarta. “Helsinki bukan slogan politik. Itu fondasi lahirnya UUPA dan kerangka hubungan Aceh–Jakarta. Mengabaikannya sama dengan menghilangkan dasar hukum otonomi Aceh,” jelasnya.
Terkait revisi UUPA, Sofyan mengusulkan empat langkah utama agar Otsus lebih efektif. Pertama, reformulasi Dana Otsus menuju skema yang berbasis insentif untuk memperkuat kemandirian ekonomi. Kedua, harmonisasi kewenangan Aceh dan undang-undang sektoral melalui mekanisme khusus agar kewenangan daerah tidak kembali tergerus. Ketiga, pembentukan lembaga di bawah presiden untuk memastikan implementasi program berjalan terukur dan bebas distorsi politik. Keempat, penyusunan indikator evaluasi lima tahunan yang dirumuskan bersama Aceh dan pemerintah pusat.
Ia juga menegaskan, kritik dari siapa pun harus dipandang sebagai peluang memperbaiki kebijakan, bukan memperdalam stigma terhadap Aceh. Isu ini diperkirakan terus berkembang seiring pembahasan revisi UUPA dan evaluasi akhir masa berlakunya Otsus. []

















