
250 Ton Beras, Dua Kebenaran dalam Satu Negara
KoranAceh.id | Feature News — Ada 250 ton beras. Datang dengan kapal, turun di Pelabuhan Bebas Sabang. Disambut senyum dan kepercayaan diri: ini peluang ekonomi. Tapi di Jakarta, yang terdengar justru alarm pelanggaran, penyegelan, dan kata “ilegal” di depan publik.
Satu peristiwa. Dua versi kebenaran. Yang satu bicara restu daerah. Yang lain bicara larangan pusat.
Panggung hukum mendadak berubah menjadi arena tarik-menarik tafsir. Siapa yang berdaulat atas kebijakan pangan — Aceh atau Jakarta?
Republik Tafsir dalam Negara Hukum
Indonesia konstitusional, negara hukum. Hukum seharusnya tunggal dalam bingkai negara kesatuan. Namun kenyataan di lapangan tak sesederhana itu. Regulasi pusat dan daerah kerap tumpang tindih, saling bertubrukan, dan menimbulkan ruang abu-abu.
Di mata Pemerintah Aceh dan otoritas Sabang, pelabuhan bebas memberi izin pemasukan barang dalam zona ekonomi tertentu. Di mata pemerintah pusat, beras adalah komoditas strategis yang hanya boleh diimpor melalui izin nasional.
Ketika hukum tidak lagi menyatukan, kebenaran pun pecah dua: “Daerah merasa sah, pusat menegaskan salah.” Dampaknya? Kebingungan publik dan ketidakpastian hukum.
Pusat: “Impor Beras Harus Seizin Negara”
Regulasi pangan menempatkan beras sebagai jantung kedaulatan. Kementerian Perdagangan mengatur secara langsung izin impor. Kementerian Pertanian mengatur produksi dan suplai nasional. Bulog memegang peranan dalam stabilisasi harga dan stok publik.
Beras tanpa izin pusat? “Pelanggaran.”
Aceh: “Sabang Punya Zona Bebas”
Undang-undang tentang Pemerintahan Aceh dan Kawasan Perdagangan Bebas Sabang memberi Aceh keyakinan bahwa pemasukan barang tertentu legal selama dalam area yang ditentukan. Mereka menyebut ini strategi membuka jalur ekonomi, bukan pelanggaran.
Akar Masalah Bukan di Dermaga, Tapi di Regulasi
Hukum pusat dan kekhususan Aceh sama-sama resmi. Yang bermasalah adalah koordinasi sektoral dan integrasi kebijakan. Jika ihwal barang pangan saja bisa menimbulkan tafsir berlawanan, bagaimana dengan isu-isu yang lebih besar?
🎙️ Suara Publik: Siapa yang Harus Dipercaya?
Dalam republik yang mengenalkan diri sebagai negara hukum, hukum seharusnya bicara satu suara. Bukan berlainan arah, bukan berbalas pernyataan. Jika tafsir menjadi raja, maka yang paling keras bersuara dapat dianggap paling benar. Dan itu adalah ancaman bagi keadilan, bukan sekadar persoalan beras.
250 ton beras ini menjadi pesan keras: Bahwa di negeri ini, persoalan hukum bukan soal benar atau salah, melainkan soal siapa yang berhak menafsirkan kebenaran. Sementara negara sibuk berdebat, rakyat hanya ingin kepastian: Di mana sebenarnya tegak hukum itu berdiri?
Daftar Regulasi Terkait (Ringkas & Aplikatif)
1️⃣ Regulasi Pusat
| Regulasi | Isi Pokok | Implikasi ke Kasus Sabang |
| UU No. 18/2012 tentang Pangan | Pangan strategis dikelola negara demi kedaulatan | Impor beras wajib izin pusat |
| UU No. 7/2014 tentang Perdagangan | Perizinan impor berada di kewenangan Pemerintah RI | Tidak boleh ada impor tanpa persetujuan pusat |
| Perpres Kebijakan Pangan Nasional (berlapis setiap tahun) | Menetapkan roadmap swasembada & pembatasan impor | Larangan impor saat stok nasional cukup |
| Permendag tentang Ketentuan Impor Beras | Sektor beras dikontrol ketat, izin sangat terbatas | Barang tanpa izin = pelanggaran hukum |
Kesimpulan hukum pusat: Beras → komoditas strategis → izin menjadi monopoli kebijakan pusat.
Regulasi Aceh & Kawasan Sabang
| Regulasi | Isi Pokok | Implikasi |
| UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh | Aceh memiliki kekhususan dalam tata kelola ekonomi daerah | Kewenangan daerah sering dipahami lebih luas |
| UU No. 37/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang | Barang dapat masuk tanpa pungutan bea impor dalam kawasan | Persepsi: pemasukan barang sah → wilayah terbatas |
Kesimpulan hukum daerah: Sabang merasa memiliki jalur legal untuk pemasukan barang → dalam zona tertentu.

















