
Serapan anggaran Aceh masih lambat jelang akhir tahun. Realisasi rendah cermin lemahnya kinerja dan birokrasi yang tak efisien.
KoranAceh.id | Tajuk Rencana — Hingga November 2025, realisasi anggaran Pemerintah Aceh dan 23 kabupaten/kota masih bergerak lambat. Dari data terakhir, serapan rata-rata anggaran daerah baru berkisar antara 56 hingga 79 persen, menandakan belum maksimalnya pelaksanaan program menjelang tutup tahun anggaran.
Pemerintah Provinsi Aceh sendiri baru merealisasikan Rp 8,02 triliun dari total pagu Rp 10,79 triliun, atau sekitar 74,37 persen. Sementara di tingkat kabupaten/kota, capaian tertinggi dicatat Kabupaten Pidie Jaya dengan serapan 81,33 persen, disusul Kota Banda Aceh dengan serapan 79,63 persen, Kabupaten Bireuen (79,03 persen) dan Aceh Tamiang (77,57 persen).
Sebaliknya, sejumlah daerah masih tertinggal jauh, seperti Aceh Selatan (56,36 persen), Aceh Utara (57,72 persen), dan Bener Meriah (59,52 persen). Bahkan Kota Subulussalam hanya mencapai 56,92 persen per Oktober 2025.

Kinerja dan Birokrasi yang Belum Sinkron
Rendahnya serapan ini bukan semata karena minimnya kegiatan, tetapi juga akibat lemahnya perencanaan dan keterlambatan administrasi pelaksanaan proyek. Sebagian besar dinas masih disibukkan dengan proses tender yang molor, revisi dokumen kegiatan, dan keterlambatan laporan pertanggungjawaban.
Padahal, menjelang akhir tahun, percepatan realisasi menjadi faktor kunci dalam menjaga stabilitas ekonomi daerah. Ketika serapan anggaran rendah, belanja publik ikut tersendat—dampaknya langsung terasa pada sektor riil: lambannya perputaran uang, tertundanya proyek infrastruktur, dan minimnya efek berganda terhadap perekonomian lokal.
Pemerintah Harus Gerak Cepat
Dengan sisa waktu kurang dari dua bulan sebelum tahun anggaran berakhir, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota perlu mengambil langkah percepatan. Proses administrasi harus dipangkas tanpa mengorbankan akuntabilitas.
Badan Pengelola Keuangan Aceh dan Inspektorat juga mesti lebih aktif melakukan monitoring terhadap dinas-dinas dengan serapan rendah, terutama di sektor pembangunan fisik dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Anggaran Tak Boleh “Digudangkan”
Aceh memiliki tantangan besar dalam membangun ekonomi pasca-pandemi dan memperkuat daya saing daerah. Karena itu, setiap rupiah anggaran harus kembali ke masyarakat dalam bentuk manfaat, bukan menjadi SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) yang terus menumpuk.
Sudah saatnya pola kerja birokratis diubah menjadi manajemen kinerja berbasis hasil. Jika tidak, setiap tahun kita hanya akan membaca angka yang sama: pagu besar, realisasi kecil, dan pembangunan yang berjalan di tempat.
Serapan anggaran bukan sekadar urusan laporan keuangan—ia adalah cerminan kinerja pemerintah dan kesungguhan untuk menyejahterakan rakyat. []

















