Home / Opini / Kolom / Mengenali Relasi antara Bahasa dan Logika

Mengenali Relasi antara Bahasa dan Logika

Image Not Found

Bahasa memungkinkan manusia menyebut yang belum ada, membayangkan yang belum terjadi.”

KoranAceh.id | Kolom – Bahasa dan logika ibarat dua sisi dari satu koin: bahasa menjadi wadah bagi pikiran, sedangkan logika adalah struktur yang menegakkan kebenaran dari pikiran itu sendiri. 

Namun, ketika kita mulai mempertanyakan tentang masa depan — tentang apakah “besok akan hujan” atau “seseorang akan menjadi pemimpin” — maka relasi antara bahasa dan logika berubah menjadi teka-teki yang sangat dalam.

Apakah kalimat tentang masa depan memiliki nilai kebenaran yang pasti, atau justru menggantung di antara ada dan tiada?

Bahasa dan Struktur Logika

Logika klasik, sejak Aristoteles, mengajarkan bahwa setiap proposisi hanya memiliki dua nilai kebenaran: benar atau salah. “Langit cerah hari ini” adalah proposisi yang dapat diverifikasi. Namun ketika proposisi itu diarahkan pada masa depan — “Langit akan cerah besok” — muncul problem yang lebih pelik.

Apakah pernyataan tentang hal yang belum terjadi sudah bisa dinilai benar atau salah?

Inilah yang disebut sebagai masalah nilai kebenaran proposisi masa depan(truth value of future contingents). Aristoteles sendiri, dalam De Interpretatione, menyinggung persoalan ini ketika ia menulis: jika dua armada akan berperang esok hari, maka pernyataan “akan terjadi perang besok” dan “tidak akan terjadi perang besok” tidak mungkin keduanya benar, tapi juga tidak bisa keduanya salah — sebab masa depan belum aktual.

Logika, yang terbiasa dengan kepastian, tiba-tiba berhadapan dengan bahasa yang memuat ketidakpastian.

Determinisme dan Kebebasan

Dari sinilah muncul dua kutub pemikiran besar: determinisme dan indeterminisme.

Kaum determinis — dari para stoik kuno hingga ilmuwan modern yang berpegang pada hukum kausalitas — percaya bahwa masa depan sudah termaktub dalam rangkaian sebab-akibat yang pasti. Jika semua sebab sudah diketahui, maka semua akibat pun sudah dapat diramalkan.

Dengan kata lain, proposisi tentang masa depan sudah memiliki nilai kebenaran sejak sekarang. Masa depan, bagi determinis, hanyalah konsekuensi dari masa kini yang belum kita ketahui seluruhnya.

Sebaliknya, kaum indeterministis (termasuk banyak filsuf eksistensialis dan teolog) menolak pandangan ini. Mereka berpegang pada keyakinan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan, dan karena itu, masa depan belum memiliki nilai kebenaran yang tetap.

Pernyataan “Besok saya akan menolong seseorang” belum bisa dinyatakan benar atau salah hari ini, sebab tindakannya belum diwujudkan oleh kehendak yang bebas.

Tantangan Abadi Logika

Masalah proposisi masa depan ini menjadi tantangan abadi bagi logika. Jika logika bersikeras mempertahankan prinsip dua nilai (benar/salah), maka ia akan kesulitan menjelaskan kalimat tentang masa depan. Namun jika logika membuka ruang bagi nilai ketiga — mungkin benar atau tidak tentu — maka ia memasuki wilayah logika modern yang lebih fleksibel, seperti logika modal dan logika temporal.

Dalam logika modal, proposisi dapat diberi status “perlu”, “mungkin”, atau “tidak mungkin”. Maka kalimat “Besok akan turun hujan” bukanlah benar atau salah, melainkan mungkin benar — hingga saatnya tiba dan fakta menentukannya.

Dengan demikian, logika tidak lagi menjadi penjara bagi kepastian, tetapi alat untuk memahami kemungkinan.

Bahasa, Logika, dan Manusia

Namun di atas semua itu, persoalan ini bukan sekadar permainan logika, melainkan refleksi tentang hakikat manusia.

Jika masa depan sudah ditentukan, maka kebebasan manusia hanyalah ilusi. Tetapi jika masa depan terbuka, maka bahasa kita — dengan seluruh ketidakpastiannya — adalah bukti bahwa manusia memang makhluk yang hidup dalam ruang kemungkinan.

Bahasa memungkinkan kita menyebut yang belum ada, membayangkan yang belum terjadi, dan merancang yang belum diwujudkan. 

Maka logika, dalam pengertian terdalamnya, bukan hanya alat untuk menilai benar atau salah, melainkan upaya untuk memahami bagaimana kebenaran tumbuh bersama waktu.

Pertanyaan “Apakah masa depan sudah ditentukan sejak sekarang?” bukan hanya teka-teki metafisik, melainkan cermin hubungan antara bahasa, logika, dan kebebasan.

Bahasa memberi ruang bagi kita untuk berbicara tentang yang belum nyata; logika menuntun kita untuk menimbang konsistensinya; dan kebebasan memberi makna pada pilihan-pilihan yang menjadikannya nyata.

Mungkin masa depan bukan sesuatu yang “sudah ada” untuk ditemukan, melainkan sesuatu yang diciptakan oleh kehendak manusia — melalui bahasa, keputusan, dan tindakan kita hari ini.[]

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *