KoranAceh.id | Kolom – Dalam sejarah pemikiran manusia, logika selalu ditempatkan sebagai salah satu alat paling fundamental dalam memahami dunia. Ia bukan sekadar kumpulan aturan berpikir, tetapi sebuah pedang yang sangat tajam—mampu membelah kekacauan, kesalahpahaman, dan ilusi yang sering mengaburkan pandangan manusia terhadap kebenaran. Namun seperti halnya pedang, logika menuntut kecakapan bagi siapa pun yang ingin menggunakannya. Mereka yang tidak mampu memegangnya dengan baik, bukan hanya gagal memanfaatkannya, tetapi bahkan dapat “terbelah” oleh kebodohan mereka sendiri.
Logika menuntut ketajaman berpikir. Ia mengharuskan seseorang untuk memeriksa setiap argumen, mempertanyakan asumsi, dan memisahkan fakta dari kepalsuan. Dalam proses ini, logika menjadi alat yang menuntut kedisiplinan mental. Orang yang malas berpikir kritis, yang enggan menilai ulang keyakinannya, atau menolak kebenaran hanya karena tidak sesuai dengan keinginannya, pada akhirnya akan terjebak dalam kesalahan yang mereka bangun sendiri. Bukan logika yang menyakiti mereka, melainkan ketidakmampuan mereka untuk bersikap jernih dan jujur terhadap realitas.
Sering kali, manusia menyalahkan hal-hal di luar dirinya ketika menghadapi kegagalan dalam berpikir. Padahal akar masalahnya sebenarnya berasal dari dalam diri mereka sendiri: ketidaksiapan untuk menerima kebenaran, ketidakmauan untuk menelusuri sebab akibat, atau keengganan untuk mengasah kemampuan bernalar. Logika tidak pernah mencederai siapa pun; ia hanya mengungkapkan apa adanya. Yang terasa menyakitkan hanyalah benturan antara ego dan kenyataan.
Di tengah era informasi yang bergerak cepat dan dipenuhi oleh opini yang berseliweran, logika menjadi semakin penting. Tanpa kemampuan untuk memilah informasi, menilai sumber, dan menyusun argumen, seseorang sangat mudah terseret dalam arus kebingungan. Di sinilah logika kembali mengambil peran sebagai pedang: melindungi pikiran dari serangan kebodohan sekaligus memberikan ketajaman untuk membedakan antara yang benar dan yang menyesatkan.
Pesan utamanya sederhana namun krusial: gunakan logika sebagai alat untuk memahami dunia. Ia adalah senjata yang dapat membentuk karakter intelektual, menuntun pada kebijaksanaan, dan menjauhkan kita dari kesesatan. Mereka yang menolak logika akan menghadapi musuh paling berbahaya: kebodohan yang berasal dari diri sendiri. Dan seperti pedang yang tidak dipegang dengan benar, kebodohan itu dapat menjadi alat yang menghancurkan diri kita jauh sebelum orang lain melakukannya.
Pada akhirnya, logika tidak hanya menjernihkan pikiran, tetapi juga memuliakan manusia. Ia membebaskan kita dari belenggu prasangka, membukakan jalan menuju pemahaman, dan memungkinkan kita untuk berdiri tegak menghadapi kebenaran. Tanpa logika, manusia kehilangan pedangnya—dan ketika itu terjadi, yang tersisa hanyalah kerapuhan intelektual yang mudah ditaklukkan oleh kebingungan dan ketidakpastian.
Logika adalah pedang kita. Asahlah ia, gunakan ia, dan biarkan ia menerangi jalan kita menuju kebenaran.[]

















