Home / Politik & Kebijakan / Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pembaruan KUHAP Desak Presiden Tarik RUU KUHAP

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pembaruan KUHAP Desak Presiden Tarik RUU KUHAP

Ilustrasi Foto Ist
Ilustrasi. (Foto: Ist).

Koalisi menilai RUU KUHAP sarat masalah dan berpotensi melemahkan perlindungan warga. Mereka meminta Presiden menarik draf sebelum paripurna.

KoranAceh.id | Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP meminta Presiden menarik draf RUU KUHAP setelah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Pemerintah menyelesaikan pembahasan tingkat I hanya dalam tempo dua hari. Koalisi menilai hal itu meninggalkan banyak persoalan mendasar yang berpotensi mengubah wajah sistem peradilan pidana tanpa pengamanan memadai.

“Selama pembahasan RUU KUHAP ini, kami menilai terdapat tumpukan masalah dari aspek proses pembahasan dan substansi yang diputuskan. Proses pembahasan nampak terburu-buru untuk mengejar pengesahan KUHAP agar dapat berlaku bersamaan dengan KUHP baru pada Januari 2026,” kata Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, Muhammad Isnur, dalam keterangan tertulis, Jumat (14/11/2025).

Pada Kamis, (13/11/2025), Komisi III DPR RI bersama Pemerintah melalui Kementerian Hukum (Kemenkum) serta Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) menyepakati isi rancangan revisi UU No.8/1981 tentang KUHAP dalam pembicaraan tingkat I. RUU tersebut pun akan dibawa ke rapat pembahasan tingkat II dan rapat paripurna guna disahkan menjadi undang-undang.

Koalisi menyebut proses tersebut tampak dikejar waktu agar RUU KUHAP dapat berlaku bersamaan dengan KUHP baru pada Januari 2026. Mereka juga menyoroti bahwa masukan publik pada forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), termasuk surat resmi koalisi, tidak ditanggapi maupun dipertimbangkan dalam penyusunan keputusan.

Pada bagian substansi, Koalisi menilai sejumlah pasal membuka ruang praktik penegakan hukum yang tidak terkontrol. Salah satu sorotan utama adalah perluasan penggunaan metode undercover buy (pembelian terselubung) dan controlled delivery (pengiriman di bawah pengawasan) yang sebelumnya terbatas pada tindak pidana tertentu, kini dapat dipakai sejak tahap penyelidikan dan untuk seluruh jenis perkara.

Kedua metode ini, Isnur menerangkan, dikhawatirkan membuka ruang penjebakan lantaran tak diawasi hakim. “Kewenangan luas tanpa pengawasan ini berpotensi membuka peluang penjebakan (entrapment),” ujarnya.

Suasana rapat panitia kerja PANJA RUU KUHAP Kamis 13112025 Foto Tangkapan layar YouTube TVRPARLEMEN
Suasana rapat panitia kerja (PANJA) RUU KUHAP, Kamis (13/11/2025). (Foto: Tangkapan layar YouTube @TVRPARLEMEN).

Koalisi juga mempersoalkan perluasan tindakan pada tahap penyelidikan. Dalam draf, aparat dapat melakukan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, hingga penahanan sebelum tindak pidana terkonfirmasi. Berbeda dari KUHAP yang berlaku saat ini yang membatasi tindakan pada tahap awal agar tidak menimbulkan penyalahgunaan kewenangan.

Selain itu, sejumlah pasal terkait upaya paksa dinilai melemahkan perlindungan hukum. Penangkapan dan penahanan dapat dilakukan tanpa izin hakim, sementara masa penangkapan yang sering diperpanjang melalui undang-undang sektoral tidak diperbaiki dalam draf baru.

Pada aspek lain, penggeledahan, penyitaan, pemblokiran rekening, dan penyadapan juga dapat dilakukan berdasarkan penilaian subjektif aparat tanpa mandat pengadilan. RUU KUHAP, kata Isnur, bahkan merujuk pada undang-undang yang belum tersedia.

“RUU KUHAP juga memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan tanpa izin hakim dengan dilandaskan pada undang-undang yang bahkan belum terbentuk,” jelasnya.

Di area keadilan restoratif, Koalisi menyoroti Pasal 74A yang membuka ruang kesepakatan damai antara pelaku dan korban pada tahap penyelidikan, ketika tindak pidana belum dipastikan terjadi. Mekanisme ini, tutur Isnur, rawan pemerasan dan tekanan karena tidak memiliki mekanisme pelaporan setara dengan penghentian penyidikan. Pengadilan hanya dimintai menetapkan hasil kesepakatan tanpa pemeriksaan substansial. “Penetapan hakim hanya akan dianggap stempel,” ucapnya.

Sorotan lain muncul terkait penguatan kewenangan Polri. Semua penyidik pegawai negeri sipil dan penyidik khusus ditempatkan di bawah koordinasi Polisi. Langkah ini, menurut koalisi, dapat menjadikan kepolisian sebagai lembaga dengan kontrol berlebih. Koalisi mengingatkan bahwa beban kerja kepolisian saat ini masih besar dan respons terhadap laporan masyarakat sering kali tidak optimal.

Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP sekaligus Ketua YLBHI Muhammad Isnur Foto Dok YLBHI
Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP sekaligus Ketua YLBHI, Muhammad Isnur. (Foto: Dok. YLBHI).

Di sisi lain, isu perlindungan penyandang disabilitas juga menjadi perhatian serius. Koalisi menilai pasal dalam draf masih bersifat ableistik karena tidak mewajibkan akomodasi layak bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Belum lagi keberadaan pasal 137A yang memungkinkan penjatuhan tindakan tanpa batas waktu bagi penyandang disabilitas mental atau intelektual. Hal ini berpotensi melegitimasi pengurungan sewenang-wenang tanpa standar pengawasan yang jelas.

“Pasal ini berpotensi melegitimasi perampasan kemerdekaan dan pengurungan sewenang-wenang (arbitrary detention), karena penjatuhan sanksi tidak diposisikan sebagai putusan pidana sehingga tidak memiliki standar jelas terkait batas waktu, mekanisme pengawasan, maupun penghentian tindakan. Situasi tersebut membuka ruang praktik koersif dengan dalih penegakan hukum,” rinci Isnur yang juga Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu.

RUU KUHAP juga dinilai dipaksakan tanpa masa transisi. Bila disahkan, aturan baru akan langsung mengikat aparat dan warga per 2 Januari 2026, padahal lebih dari sepuluh peraturan pemerintah masih harus diselesaikan sebagai aturan pelaksana. Koalisi menyebut situasi ini berisiko menimbulkan kekacauan implementasi selama setidaknya satu tahun ke depan.

Berdasarkan temuan tersebut, Koalisi menyerukan tiga langkah: Presiden menarik draf RUU KUHAP dari agenda paripurna, Pemerintah dan DPR melakukan perombakan substansi secara menyeluruh, serta menghentikan penggunaan dalih pemberlakuan KUHP baru sebagai alasan percepatan. []

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *