Home / Khas & Feature / Kereta Api Aceh dan Pelabuhan Bebas Sabang: Mengapa Menghilang? Generasi Muda Aceh Mulai Bertanya

Kereta Api Aceh dan Pelabuhan Bebas Sabang: Mengapa Menghilang? Generasi Muda Aceh Mulai Bertanya

Feature News | KoranAceh.id – Di Indrapoeri, sebuah foto lawas mengabadikan momen penting: pasukan marsose Belanda berdiri gagah di peron, bersiap naik kereta api Atjeh Tram.

Foto koleksi Wereldmuseum itu kini menjadi pengingat bisu tentang masa ketika Aceh memiliki jaringan rel kereta api terpanjang dan tertinggi nilainya di Sumatra.

Dan hari ini, lebih dari 80 tahun setelah Indonesia merdeka, generasi muda Aceh bertanya:

“Mengapa kereta api yang sudah dibangun Belanda hilang? Mengapa Pelabuhan Bebas Sabang—yang pernah lebih sibuk dari Singapura—ditutup begitu saja?”

Pertanyaan yang dulu mungkin dianggap tabu, kini menggema di ruang-ruang diskusi, kampus, dan media sosial.

Ini bukan sekadar nostalgia, tetapi bentuk kerinduan Aceh terhadap jalur-jalur kemajuan yang pernah ada namun terputus begitu saja.

Warisan Belanda: Rel 400 Km yang Hilang Bak Ditelan Bumi

Belanda membangun jaringan Atjeh Tram sepanjang lebih dari 400 km—dari Kutaraja (Banda Aceh) hingga perbatasan Sumatera Utara. Namun motifnya bukan untuk memakmurkan rakyat Aceh, melainkan:

  • mengangkut tentara dan logistik perang,
  • menguasai wilayah Aceh secara bertahap,
  • memperkuat sistem kolonial yang mereka sebut “Konsentrasi Line”.

Namun tetap saja, rel itu ada, nyata, dan berfungsi. Yang menjadi misteri generasi hari ini adalah: mengapa setelah Aceh merdeka, justru rel itu hilang?

Setelah Kemerdekaan: Rel Rusak, Lokomotif Mati, Aceh Ditinggalkan

Penelusuran KoranAceh menemukan bahwa “hilangnya” kereta api Aceh bukan satu sebab, melainkan rangkaian faktor yang saling menumpuk:

1. Konflik Berkepanjangan

Aceh mengalami rangkaian konflik: perang mempertahankan kemerdekaan, DI/TII pada 1950-an, hingga konflik GAM yang berlangsung puluhan tahun. Rel, jembatan, dan stasiun menjadi titik rawan.

Jalur kereta api sering:

  • disabotase,
  • ditempati pasukan militer,
  • tak aman untuk pergerakan sipil.

2. Infrastruktur yang Hancur

Banyak rel dibongkar, jembatan diledakkan, stasiun ditinggalkan. Bangunan megah Indrapoeri, Beureunun, hingga Samalanga berubah menjadi sisa-sisa sejarah.

3. Kebijakan Ekonomi Nasional Tidak Memihak

Pada era Orde Lama dan awal Orde Baru, prioritas pembangunan Indonesia lebih condong ke Jawa dan pelabuhan besar nasional. Aceh tidak masuk daftar prioritas strategis.

4. Operasional Resmi Dihentikan (1982)

Tahun 1982 menjadi penanda resmi berakhirnya kereta api Aceh. Banyak aset dibongkar, dijual sebagai besi tua, atau dibiarkan karatan di gudang.

Hari ini, yang tersisa hanya:

  • lokomotif tua BB84 di Monumen Kereta Api Kutaraja,
  • beberapa tumpukan rel,
  • dan cerita yang hampir hilang dari ingatan kolektif Aceh.

Sabang: Dari Pelabuhan Bebas Tersibuk ke Status yang Dibekukan

Generasi Aceh mungkin terkejut saat mengetahui bahwa Sabang pernah lebih penting daripada Singapura. Letaknya di garis pelayaran internasional setelah Kanal Suez dibuka menjadikannya “mutiara dunia maritim”. Kapal Eropa, India, Arab, dan Tiongkok singgah di Sabang sebelum memasuki Selat Malaka.

Ekonominya maju pesat. Namun setelah Indonesia merdeka, statusnya sebagai pelabuhan bebas dicabut. Dan di sinilah generasi muda mulai bertanya: “Mengapa?”

Sentralisasi Ekonomi Jakarta

Setelah merdeka, pemerintah Indonesia mengambil alih aset-aset strategis. Pelabuhan bebas dianggap tidak sejalan dengan agenda sentralisasi ekonomi negara. Jakarta ingin semua jalur perdagangan internasional mengalir ke pusat-pusat pelabuhan nasional yang ditentukan:

  • Belawan lebih diprioritaskan,
  • Pelabuhan Jawa menjadi fokus investasi,
  • Sabang kehilangan dukungan struktural.

Dalam bahasa tajam: Sabang bukan bagian prioritas pusat.

Perubahan Politik & Ketidakstabilan Aceh

Arah ekonomi Sabang sangat bergantung pada stabilitas Aceh. Saat Aceh dilanda konflik dan tekanan politik, kepercayaan internasional turun.

Investor pergi, jalur perdagangan berubah arah, dan status pelabuhan bebas tak lagi relevan dalam kalkulasi nasional.

Apakah Ada Alasan Politik di Baliknya? Jawabannya: Ya. Banyak.

KoranAceh merangkum tiga faktor historis yang jarang dibicarakan:

1. Menghapus Jejak Infrastruktur Kolonial Strategis

Aceh adalah daerah “keras” secara politik. Beberapa pihak berpendapat bahwa jalur kereta dan status pelabuhan bebas dianggap bisa memperkuat kemandirian ekonomi Aceh. Sementara pemerintah pusat saat itu ingin:

  • menjaga kontrol,
  • menghindari pusat ekonomi yang terlalu independen.

2. Kekhawatiran Aceh Menjadi “Gateway Internasional” Lagi

Sabang yang bebas dan kereta api yang menghubungkan seluruh pesisir Aceh memungkinkan Aceh terkoneksi langsung dengan dunia—tanpa melalui pusat. Ini dianggap sensitif dalam era penuh gejolak politik pasca-kemerdekaan.

3. Konflik Aceh Membuat Pemerintah Pusat Tidak Invest

Investasi besar di wilayah yang terus bergejolak dianggap tidak “aman” secara politik maupun ekonomi.

Generasi Muda Aceh Bertanya—Dan Berhak Mendapat Jawaban

Kini, ketika Aceh sudah damai, pertanyaan itu muncul lagi:

  • Mengapa Aceh kehilangan kereta api?
  • Mengapa Sabang—pelabuhan dunia—ditutup setelah merdeka?
  • Apakah Aceh sengaja dipinggirkan dalam kebijakan nasional?

Ini bukan pertanyaan provokatif. Ini adalah pertanyaan historis yang relevan untuk masa depan. Karena Aceh hari ini sedang membangun kembali jati dirinya sebagai pusat perdagangan, energi, dan maritim. Reaktivasi kereta api Trans-Sumatera dan Sabang sebagai pelabuhan bebas kembali menjadi pembicaraan strategis.

Dan generasi muda Aceh ingin memastikan: Agar sejarah yang hilang tidak terulang. Agar rel yang putus dapat tersambung. Agar Sabang kembali menjadi pintu dunia.

Agar Aceh dapat berdiri sejajar, sebagaimana dulu ketika dunia datang bersandar di pelabuhan-pelabuhan negeri bawah angin.[]

Redaksi KoranAceh.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *