Home / Budaya & Sejarah / Harimau Betina dari Tanah Rencong‼️Pertempuran Pocut Baren yang Mengguncang Kolonial

Harimau Betina dari Tanah Rencong‼️Pertempuran Pocut Baren yang Mengguncang Kolonial

KoranAceh.id | Sejarah – Di tengah gemuruh senapan dan riuh langkah kaki kolonial Belanda, muncul satu sosok yang tak bisa dipandang sebelah mata: Pocut Baren. Wanita bangsawan dari kawasan Tungkop, Aceh Barat, yang memilih meninggalkan kenyamanan istana kecilnya demi membela rakyat dan agamanya. Kisahnya bukan sekadar pertarungan fisik — melainkan perang keyakinan, keberanian, dan keberlanjutan semangat yang menggema hingga kini.

Pocut Baren lahir sekitar tahun 1880 di Kemukiman Tungkop, Kecamatan Sungai Mas, Aceh Barat.

Ayahnya, Teuku Cut Amat Tungkop, adalah seorang uleebalang (kepala adat) yang berpengaruh di daerahnya.

Sejak kecil, Pocut dibesarkan dalam suasana penuh peperangan: letusan senjata, desiran peluru, jeritan rakyat yang menderita di tangan penjajah. Budaya perjuangan dan agama tumbuh bersamaan dalam dirinya.

Ketika kolonial Belanda semakin menekan wilayah Aceh Barat, banyak keluarga bangsawan dan ulama yang memilih untuk melawan atau setidaknya menolak kerjasama. Pocut Baren memilih jalan pertama: bukan hanya menjadi ulama perempuan — yang sudah jarang — tapi juga panglima perang bagi pasukannya sendiri.

  • Aksi Gerilya dan Benteng di Pedalaman

Setelah suaminya ” seorang uleebalang di Geume” gugur dalam pertempuran di medan Woyla, Pocut Baren tak menyerah. Ia menggantikan beliau sebagai panglima dan terus memimpin pasukan gerilya.

Ia mendirikan markas di kawasan pedalaman, termasuk di daerah Gua Gunong Mancang yang sulit dijangkau, sebagai tempat persembunyian dan serangan mendadak ke markas Belanda.

Satu taktik yang terkenal: ketika pasukan Belanda berusaha mengepung markasnya, Pocut dan pengawalnya menggulingkan batu‐besar ke arah musuh yang mendaki. Sebuah perlawanan taktis dari hutan yang mestinya tak terjangkau.

Namun, Belanda akhirnya menemukan cara: mengalirkan ribuan kaleng minyak tanah ke mulut gua dan membakarnya—menandai bahwa mereka tak hanya berhadapan dengan senjata, tapi medan hutan yang mematikan.

Dalam suatu patroli Belanda di Kuala Bhee yang dipimpin Letnan Hoogers, lokasi persembunyian Pocut terungkap. Ia terkena tembakan di bagian kaki dalam aksi itu. Karena minim perawatan, luka membusuk dan akhirnya kakinya harus diamputasi.

  • Momen Krisis Saat Terdesak dan Bertahan

Setelah amputasi, Pocut Baren menarik diri dari garis depan, tetapi bukan dari perang itu sendiri. Meski secara fisik tak bergerak bebas seperti dulu, kepemimpinannya tetap aktif: lewat syair dan pantun yang ia ciptakan untuk menyemangati pasukannya dan rakyat Aceh yang masih melawan.

Beliau juga menjalankan tugas sebagai uleebalang di kampung halamannya—tetapi jiwanya tetap di medan perlawanan, di tengah hutan, dalam sunyi malam yang menyimpan peluru dan tekad.

Ketika Belanda semakin dalam mengepung perlawanan di Aceh Barat sekitar 1903-1910, nama Pocut Baren menjadi momok bagi mereka.

Bentuk keberaniannya sebagai perempuan yang memakai kelewang bengkok (pedang) dan memimpin pasukan pria memberikan satu pesan: penjajah tak akan menggampangkan perlawanan rakyat Aceh dalam banyak bentuk.

  • Warisan dan Makna Heroik

Pocut Baren wafat pada 12 Maret 1928 di kampung halamannya, Tungkop, Aceh Barat.
Walau namanya belum dicatat sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia secara resmi, penghargaan masyarakat Aceh terlihat jelas: jalan di Banda Aceh diberi nama “Jalan Pocut Baren”.

  • Makna perjuangannya jauh melebihi medan fisik:

Ia menunjukkan bahwa wanita juga bisa menjadi panglima perang, bukan sekadar pendukung.

Ia menggabungkan aspek keagamaan, pendidikan, dan pemerintahan adat dengan aktivitas militer-gerilya menjadi ulama sekaligus pejuang.

Ia memanfaatkan medan hutan dan kultur lokal sebagai senjata taktis, membalik situasi dari yang tampak tak berdaya menjadi momok penjajah.

Melalui syair dan pantun, ia membangun semangat kolektif yang mungkin tak terlihat di buku sejarah besar, tetapi hidup di kalangan rakyat Aceh.

Refleksi

Bayangkan Pocut Baren berjalan di tengah malam pedalaman Aceh Barat. Kelewang di pinggangnya, pasukan kecil di belakangnya, dan suara belantara yang diiringi desir angin seperti palu perang yang tak pernah henti. Dia bukan sosok yang berangkat dengan rombongan besar bersenjata lengkap — ia memulai dari akar: tanah, rakyat, dan keyakinan bahwa penjajahan bisa dilawan dengan banyak cara.

Kisahnya mengajak kita memahami bahwa pertempuran bukan hanya soal peluru dan tank, tetapi soal keadilan, identitas, dan kemanusiaan. Ia mengingatkan bahwa di balik nama-nama besar yang sering kita dengar, ada banyak sosok terselubung sosok yang siap menderita demi masa depan yang lebih baik. Pocut Baren menjelma sebagai contoh: bahwa keberanian bisa datang dari mana saja, dari wanita bangsawan Aceh yang tak takut merangsek ke medan perang.

Semoga kisah Pocut Baren terus diingat dan namanya menjadi inspirasi bagi mereka yang masih menemukan peperangan dalam bentuk baru: penindasan, diskriminasi, marginalisasi. Karena kalau satu perempuan bisa menjadi “harimau betina” di hutan Aceh, maka banyak yang bisa menjadi pahlawan di zaman sekarang.

Sumber Valid:

“Pocut Baren, Pemimpin Pasukan Gerilya dan Penyair di Masa Perang Aceh” — BBG News / Serambi Indonesia.
Universitas Bina Bangsa Getsempena

“Pocut Baren” — Wikipedia Bahasa Indonesia.
Wikipedia

“Mengenal Lebih Dekat Pocut Baren” — TengkuPutih.com.
Tengkuputeh

“Gerilya Pocut Baren, Sang ‘Harimau Betina’ Melawan Belanda” — Portalsatu.com.
portalsatu.com

“Peran Pocut Baren sebagai ulama perempuan di Aceh” — Lisa Miranda, Repository Ar-Raniry.
UIN – Ar Raniry Repository

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *