Karena bila guru tak sekadar mengajar, tetapi menuntun ke surga, maka Aceh — melalui generasi pendidik dan anak didiknya — akan menapaki jalan yang terang
KoranAceh.id | Tajuk – Di era di mana layar smartphone dan algoritma media sosial semakin mendominasi luka-luka kecil kehidupan kita, seorang guru tetap berdiri sebagai mercusuar kemanusiaan: bukan hanya mengajar materi pelajaran, namun menuntun hati, membentuk karakter, dan membuka jendela masa depan.
Kita membaca bersama hasil publikasi Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh (BPS) yang terbaru, yang menunjukkan bahwa provinsi kita — Aceh — telah mencapai Angka Partisipasi Sekolah (APS) usia 7-12 tahun sebanyak 99,42 % dan usia 13-15 tahun sebesar 97,77 %. Ini adalah capaian yang menggembirakan: anak-anak kita mayoritas kini memasuki sekolah dasar dan menengah. Namun, sekaligus ini adalah panggilan untuk menyadari bahwa angka saja tidak cukup.
Angka partisipasi yang tinggi adalah fondasi. Tapi fondasi tanpa bangunan yang kokoh tidak akan cukup menahan badai zaman. Inilah mengapa peran guru begitu penting — bukan sekadar mengajar kurikulum, tetapi menjadi penggerak transformasi manusia.
Ketika guru memasuki ruang kelas pagi tadi, mereka membawa lebih dari kapur dan buku teks. Mereka membawa keikhlasan, kesabaran, dan harapan. Seperti yang disampaikan oleh Plt. Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Murthalamuddin, S.Pd., M.SP:
“Mengajar itu ibadah… dan guru adalah orang yang paling dekat dengan surga.”
Kata-kata ini mengingatkan kita bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan yang membangun manusia — bukan hanya lulusan, tetapi insan yang berkarakter, yang mampu menyumbang ke masyarakat, yang kemudian meneruskan ilmu yang bermanfaat.
Namun kita harus jujur: meskipun APS sangat tinggi, tantangan masih banyak. Data BPS menunjukkan bahwa meskipun hampir semua anak kini sekolah, Angka Partisipasi Murni (APM) untuk jenjang lanjut dan tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan masih memerlukan perhatian serius. Artinya: kehadiran guru dan kehadiran siswa di sekolah hari demi hari hanyalah langkah awal — hal yang paling penting adalah kualitas pembelajaran dan dampak jangka panjangnya.
Dalam dunia yang berubah cepat — globalisasi, otomatisasi, digitalisasi — guru bukan hanya pengajar materi tapi “penuntun” ke masa depan yang tak lagi sekadar lokal. Karena fakta menunjukkan bahwa Aceh tidak hanya harus berpikir lokal, tetapi harus berpikir nasional dan internasional. Sama seperti produk-produk UMKM Aceh yang kini menembus pasar luar region, pendidikan Aceh pun harus “menembus” batas-batas lama: menyiapkan generasi yang siap bertanding — bukan hanya di Aceh, tetapi di kancah global.
Untuk itu, redaksi ingin menegaskan beberapa hal:
- Dukungan dan pelatihan guru harus ditingkatkan: Guru perlu dibekali kompetensi baru — literasi digital, pembelajaran inovatif, pengembangan karakter — agar menjadi penerang di zaman yang semakin kompleks.
- Fokus ke kualitas, bukan hanya kuantitas: APS yang tinggi adalah berita baik, tetapi yang lebih penting adalah apakah sekolah, guru, dan anak didik menghasilkan manusia yang unggul, tangguh, dan punya nilai.
- Kolaborasi lintas sektor: Pemerintah provinsi, dinas pendidikan, sekolah, orang tua, dan masyarakat harus bekerja bersama — seperti yang diingatkan oleh Murthalamuddin — bahwa pendidikan itu bukan hanya gedung dan fasilitas, melainkan semangat, ketulusan, dan kasih sayang.
- Orientasi ke masa depan global: Guru adalah pengantar generasi ke dunia yang lebih luas. Mereka harus membantu anak-anak Aceh tidak hanya untuk bertahan, tetapi untuk unggul, berinovasi, dan memberi manfaat di skala nasional bahkan internasional.
Akhirnya, mari kita hormati para guru — yang setiap pagi berjalan ke sekolah, membawa harapan puluhan hingga ratusan anak. Karena di tangan merekalah tercetak bukan hanya lembar jawaban ulangan, tetapi masa depan manusia, masyarakat, dan bangsanya.
Karena bila guru tak sekadar mengajar, tetapi menuntun ke surga, maka Aceh — melalui generasi pendidik dan anak didiknya — akan menapaki jalan yang terang.[]

















