
Kini, saat kepercayaan publik merosot tajam, DPR seharusnya bercermin. Parlemen bukanlah perpanjangan tangan partai politik — ia adalah penjaga nurani rakyat. Bila fungsi itu hilang, maka demokrasi kehilangan jantungnya.
KoranAceh.id | Tajuk – Ada masa ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi simbol harapan rakyat: ruang tempat suara publik diperjuangkan dan kebijakan pemerintah dikritisi dengan gagah berani. Namun, di era pemerintahan Presiden Joko Widodo hingga kini, bayangan ideal itu semakin pudar. DPR hari ini tampak bukan lagi sebagai “wakil rakyat”, melainkan wakil ketua partai.
Mayoritas anggota legislatif lebih tunduk pada garis komando ketua umum partai daripada pada nurani konstituen yang mengantarkan mereka ke kursi parlemen. Keputusan politik kerap diambil bukan berdasarkan kepentingan rakyat, tetapi berdasarkan arah angin dari ruang rapat elit partai. Dalam situasi seperti itu, fungsi pengawasan dan kontrol terhadap pemerintah berubah menjadi formalitas belaka.
Fenomena koalisi gemuk yang terbentuk sejak awal masa pemerintahan Jokowi menjadi salah satu penyebab utama pudarnya independensi DPR. Alih-alih menjadi penyeimbang, parlemen justru larut dalam logika kekuasaan yang menuntut “saling pengertian” antara eksekutif dan legislatif. Kritik yang seharusnya membangun justru dianggap ancaman terhadap stabilitas politik koalisi.
Padahal, demokrasi tidak mungkin tumbuh tanpa ketegangan sehat antara penguasa dan pengawasnya. Ketika DPR memilih untuk selalu sejalan dengan pemerintah, rakyat kehilangan saluran aspirasi. Mereka merasa tak didengar, tak diwakili, bahkan tak dianggap.
Hasil survei terbaru Indikator Politik Indonesia menegaskan kenyataan pahit itu: DPR kini menjadi lembaga paling tidak dipercaya publik. Angka ketidakpercayaan ini mencerminkan bukan hanya kegagalan komunikasi, tetapi juga krisis moral politik — ketika kekuasaan dijalankan untuk menjaga kepentingan partai, bukan kesejahteraan rakyat.
Tragisnya, perhatian terhadap rakyat baru muncul ketika musim pemilu tiba. Jalan-jalan desa, pasar, dan gang sempit yang lama tak dikunjungi tiba-tiba ramai didatangi politisi dengan janji-janji manis dan senyum basa-basi. Setelah itu, suara rakyat kembali tenggelam di bawah meja rapat elit partai.
Kini, saat kepercayaan publik merosot tajam, DPR seharusnya bercermin. Parlemen bukanlah perpanjangan tangan partai politik — ia adalah penjaga nurani rakyat. Bila fungsi itu hilang, maka demokrasi kehilangan jantungnya.
Rakyat Indonesia tidak butuh DPR yang pandai bernegosiasi dengan kekuasaan, melainkan DPR yang berani berbeda suara demi kebenaran. Karena sejatinya, menjadi wakil rakyat bukanlah tentang loyalitas kepada ketua partai, tetapi tentang keberanian menyuarakan apa yang benar, meski harus melawan arus kekuasaan. []

















