Catatan Redaksi KoranAceh.id | Hamdan Budiman
Dari Diskusi Aktual: Baitul Mal, Zakat, dan Media
Diskusi bertajuk “Baitul Mal, Zakat, dan Media” di Kopi Nanggroe, Banda Aceh, Selasa (4/11/2025), membuka kembali persoalan klasik yang tak kunjung selesai: besarnya potensi zakat di Aceh yang tak sebanding dengan realisasi pengumpulannya. Data yang diungkap Komisioner Baitul Mal Aceh (BMA) Muhammad Ikhsan menyentak kesadaran publik—potensi zakat di Aceh mencapai Rp3,1 triliun per tahun, namun yang berhasil dihimpun baru sekitar Rp330 miliar, atau hanya 12 persen dari total potensi.
Lebih ironis lagi, bukan karena umat tidak berzakat, tetapi karena uang zakat yang sudah terkumpul sering tertahan akibat jerat regulasi keuangan daerah.
“Masuknya dana lancar, tapi keluarnya seret,” ujar Ikhsan lugas.
Antara Regulasi dan Spirit Keistimewaan
Permasalahan pokok yang mengemuka adalah status kelembagaan Baitul Mal Aceh yang hingga kini masih tunduk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bukan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang menempatkan Aceh sebagai daerah dengan kekhususan syariat Islam.
Akibatnya, tata kelola zakat, infak, wakaf, dan harta keagamaan (ZIWAH) masih diperlakukan seperti keuangan pemerintah daerah. Setiap pencairan dana zakat harus melewati prosedur administratif yang panjang — mulai dari Surat Perintah Membayar (SPM) hingga Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Bahkan, dana yang sudah tersedia bisa tertahan hanya karena kesalahan kode rekening.
Ikhsan mencontohkan, dana infak sempat menjadi Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) hingga mencapai Rp323 miliar karena tidak adanya aturan pelaksana berupa peraturan gubernur. Setelah regulasi dikeluarkan, penyaluran baru berjalan untuk berbagai program seperti pembangunan rumah, pemberdayaan usaha, beasiswa, bantuan lansia, ODGJ, hingga rumah singgah bagi musafir.
Namun, hingga kini masih tersisa sekitar Rp150 miliar dana infak yang mengendap. “Kita tidak bisa gunakan untuk investasi produktif, karena tidak diizinkan. Akhirnya kita tempatkan di deposito on call di Bank Aceh, bunganya hanya Rp5,5 miliar per tahun,” kata Ikhsan.
Usulan: Jadikan BMA sebagai BLUD
Untuk memutus belenggu birokrasi ini, Baitul Mal Aceh mengusulkan perubahan status menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) agar bisa mengelola dana secara lebih fleksibel dan mandiri, sebagaimana lembaga keistimewaan lain di Aceh. Dengan status BLUD, BMA dapat menyalurkan zakat tepat waktu, berinvestasi produktif, dan memperluas dampak sosial ekonomi umat.
Kalau kita bisa jadi badan hukum publik, tentu banyak hal bisa kita lakukan. Sekarang, semua terjerat aturan daerah,” ujar Ikhsan.
Langkah ini sejatinya sejalan dengan semangat UUPA yang menempatkan Baitul Mal sebagai lembaga independen di bawah Dewan Pertimbangan Syariah (DPS), bukan di bawah sistem keuangan daerah.
Zakat, Media, dan Tanggung Jawab Sosial
Dalam forum itu pula, Ikhsan menegaskan bahwa zakat bukan sekadar kewajiban sosial, melainkan ibadah yang berdimensi ekonomi dan keadilan. Karena itu, ia mengajak media untuk turut mendakwahkan pentingnya zakat, menyebarkan kesadaran, dan mengawal transparansi pengelolaan dana umat.
Media memiliki posisi strategis — bukan hanya sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai penggerak kesadaran publik. Di tengah arus digital dan media siber yang semakin dominan, pemberitaan zakat tidak seharusnya berhenti pada angka dan laporan tahunan. Ia harus menginspirasi solidaritas dan memupuk kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengelola zakat.
Menjemput Potensi yang Terlambat
Dengan potensi zakat Rp3,1 triliun per tahun, Aceh sesungguhnya memiliki sumber daya ekonomi umat yang luar biasa. Namun, jika 88 persen potensi itu terus menguap karena kendala regulasi dan lemahnya manajemen, maka keistimewaan Aceh hanya tinggal jargon.
Sudah saatnya Pemerintah Aceh dan DPRA menegaskan posisi hukum Baitul Mal Aceh sesuai amanat UUPA, bukan tunduk pada regulasi umum daerah. Zakat harus kembali menjadi instrumen strategis pembangunan umat, bukan sekadar pos keuangan yang terjebak birokrasi.
Baitul Mal bukan sekadar lembaga pemungut zakat. Ia adalah cermin keadilan sosial dan moralitas ekonomi umat. Maka, menguatkan Baitul Mal berarti memperkuat sendi keislaman dan kesejahteraan Aceh. Dan di sinilah peran media menjadi penting—mengawal, menginspirasi, dan memastikan potensi zakat Aceh tak lagi terkunci di lembaran regulasi.[]

















