
KoranAceh.id I Banda Aceh – Di sudut UMKM Center Bank Aceh Syariah, Kamis siang (6/11/2025), deretan booth berwarna-warni tampak hidup oleh tawa, cerita, dan rangkaian produk yang ditata rapi. Aroma segar rosela dan wangi rempah dari hutan Aceh berselang-seling menyapa pengunjung yang melintas. Di antara keramaian itu, Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Aceh, Marlina Muzakir, hadir menelusuri satu per satu karya tangan perempuan dan remaja putri yang tergabung dalam Uroe Pekan, sebuah kegiatan Market Day yang diinisiasi oleh Katahati Institute bekerja sama dengan Kedutaan Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor Leste.
Wajahnya terlihat sumringah ketika mencicipi cendol janeng, minuman yang terbuat dari bahan hasil hutan non kayu.
“Cendol janeng, enak,” ujarnya spontan sambil mengangguk puas. “Sirup roselanya juga enak dan segar.”
Sentuhan kreatif para perempuan terlihat jelas: dari desain kemasan yang elegan hingga ragam olahan produk berbahan dasar hasil hutan. Marlina, yang akrab disapa Kak Na, tak ragu menyampaikan apresiasinya.
“Kreatifitasnya luar biasa. Desain kemasan beberapa produk cukup bagus,” ujarnya.
Namun, ia juga melihat ruang untuk pengembangan.
“Tadi ada beberapa tas yang desainnya sangat bagus, tapi finishing-nya masih kurang rapi. Nanti bisa kita bantu pelatihan melalui Dekranasda.”
Perempuan, Hutan, dan Ekonomi Hijau
Uroe Pekan tak hanya menampilkan produk—ia membawa gagasan besar: memanfaatkan hasil hutan non kayu untuk mendukung ekonomi lokal tanpa merusak kelestarian ekosistem.
Sambutan hangat datang dari Duta Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor Leste, Jess Dutton, yang menyoroti peran perempuan dalam proses kreatif ini.
“Ini adalah acara yang sangat penting, terutama untuk melihat energi kaum perempuan dan remaja putri Aceh dalam berkreasi sekaligus menjaga lingkungan,” ujarnya.
Dutton juga menegaskan pentingnya menjaga Ekosistem Leuser, salah satu paru-paru dunia.
“Produk hasil hutan non kayu adalah upaya tepat untuk memanfaatkan potensi ekonomi tanpa merusak hutan.”
Menurutnya, apa yang dilakukan para pengrajin merupakan bukti bahwa ekonomi hijau bukan sekadar gagasan, tetapi nyata dan menjanjikan, sembari menyebut bangga karena sebagian besar produk dihasilkan oleh perempuan.
Kreativitas dari Hutan Aceh
Di tengah pameran, pengunjung bisa menjumpai 16 booth yang menampilkan ragam karya: tas, minuman kesehatan, makanan tradisional, hingga kerajinan yang memanfaatkan daun, biji, hingga serat alami dari hutan. Setiap produk membawa cerita—tentang perempuan yang berkarya, hutan yang dijaga, dan budaya yang dirawat.
Direktur Katahati Institute, Raihal Fajri, menyampaikan apresiasinya kepada para mitra yang telah mendukung acara ini.
“Terima kasih atas dukungan Dekranasda Aceh. Terima kasih pada para ibu atas kreatifitas dan kepemimpinan perempuan. Terima kasih juga kepada Kedutaan Besar Kanada.”
Ia menyebut Uroe Pekan sebagai ruang bagi perempuan untuk memasarkan inovasi mereka, sekaligus menghubungkan potensi lokal dengan peluang yang lebih luas.
Membina, Menguatkan, Merayakan
Uroe Pekan bukan sekadar pameran; ia adalah panggung bagi perempuan untuk menyuarakan kreativitasnya dan membangun jejaring. Dengan dukungan Dekranasda Aceh, peluang pengembangan pelatihan, desain produk, hingga manajemen usaha terbuka semakin lebar.
Bagi Kak Na, kegiatan seperti ini menjadi bukti bahwa pemberdayaan masyarakat dapat sejalan dengan pelestarian hutan.
“Ini adalah upaya nyata untuk memberdayakan UMKM sambil menjaga hutan tetap lestari,” katanya.
Senyum para pengrajin, tepuk tangan pengunjung, dan apresiasi para tamu menjadi potret keberhasilan kegiatan yang digelar Katahati Institute bersama Kedubes Kanada itu.
Dan bagi sebagian pengunjung, mungkin kesan yang paling melekat adalah sederhana—dari ujaran Kak Na yang jujur:
“Cendol janeng, enak.”

















