
Penulis :
Indah Amalia | *Mahasiswi Universitas Islam Negeri Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Aksiologi Islam menegaskan ilmu tidak bebas nilai. Krisis moral global muncul ketika ilmu tak lagi berorientasi pada Tauhid.
KoranAceh.id | Kolom – Di tengah kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, dunia justru menghadapi krisis moral yang semakin tajam. Ilmu berkembang pesat, tetapi arah dan tujuannya kerap kehilangan makna. Pengetahuan yang seharusnya menjadi sarana kemaslahatan berubah menjadi instrumen kekuasaan, kompetisi ekonomi, dan dominasi.
Kemajuan kecerdasan buatan, bioteknologi, hingga eksplorasi ruang angkasa tidak otomatis menghadirkan keadilan, kasih sayang, maupun spiritualitas. Kondisi inilah yang disebut para filosof Islam sebagai krisis aksiologis: hilangnya orientasi nilai dalam pengembangan ilmu.
Dalam perspektif Islam, ilmu tidak pernah berdiri netral. Setiap pengetahuan membawa konsekuensi moral dan spiritual. Aksiologi Islam menegaskan bahwa ilmu harus diarahkan pada kebaikan, kemaslahatan, dan pengabdian kepada Allah SWT.
Artikel ini menyoroti dasar nilai tersebut, relevansinya bagi kehidupan modern, serta bagaimana umat Islam dapat menyeimbangkan kemajuan intelektual dengan tanggung jawab moral.
Aksiologi: Nilai dan Tujuan Ilmu
Aksiologi adalah kajian tentang nilai dan tujuan suatu pengetahuan. Di Barat, pembahasannya cenderung terbatas pada etika (moralitas) dan estetika (keindahan). Islam memandangnya lebih luas karena mencakup hubungan manusia dengan Tuhan (tauhid), sesama manusia (ukhuwah), dan alam (khalifah).
Gagasan bahwa ilmu bersifat bebas nilai ditolak dalam Islam. Pandangan sekuler yang memisahkan ilmu dari moralitas membuka ruang penyalahgunaan sains, dari penemuan obat hingga penciptaan senjata pemusnah massal. Sebaliknya, Islam menempatkan nilai Ilahi sebagai standar kebenaran. Tujuan ilmu harus menghadirkan keberkahan dan kemaslahatan.
Allah SWT berfirman: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Ayat ini menunjukkan bahwa seluruh aktivitas manusia, termasuk dalam mencari dan menggunakan ilmu, harus memiliki orientasi ibadah, yakni pengabdian kepada Allah.
Ilmu dan Nilai dalam Islam
Dalam Islam, ilmu tidak hanya rasional, tetapi juga hikmah—kebijaksanaan yang menuntun manusia pada kebenaran dan keadilan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya‘ Ulumuddin menyebutkan bahwa ilmu yang bermanfaat (al-ilm an-nafi) adalah ilmu yang mendekatkan manusia kepada Allah dan menjauhkan dari kebinasaan moral. Sementara itu, ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang hanya menambah kesombongan atau memperluas kerusakan.
Tokoh bergelar Hujjatul Islam ini menegaskan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang mendekatkan manusia kepada Allah sekaligus mencegah kehancuran moral. Karena itu, ukuran nilai ilmu tidak ditentukan kecanggihannya, tetapi dampak sosial dan moralnya.
Rasulullah SAW juga bersabda, “Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa mencari ilmu adalah ibadah, bukan hanya aktivitas intelektual. Maka dari itu, pengetahuan dalam Islam selalu dikaitkan dengan niat, adab, dan tujuan.
Tauhid sebagai Dasar Nilai
Tauhid menjadi fondasi utama aksiologi Islam. Ia bukan sekadar doktrin teologis, tetapi prinsip moral yang mengarahkan seluruh aktivitas manusia. Sumber nilai dalam Islam adalah wahyu, bukan rasio manusia semata. Nilai kebaikan bersifat objektif dan tidak relatif.
Segala pengetahuan dan tindakan harus berorientasi kepada penghambaan kepada Allah, bukan pada hawa nafsu, ego, atau kekuasaan. Karena itu, ilmu tidak hanya dinilai dari keberhasilan teknis, tetapi sejauh mana ia menegakkan keadilan dan kemanusiaan.
Tauhid menjadi pembeda utama antara aksiologi Islam dan aksiologi sekuler. Jika sistem nilai sekuler berpijak pada rasio manusia sebagai sumber kebenaran, maka Islam berpijak pada wahyu sebagai sumber nilai mutlak.
Ilmu, Iman, dan Akhlak: Tiga Pilar Aksiologi Islam
Aksiologi Islam tidak dapat dilepaskan dari tiga unsur pokok kehidupan: ilmu, iman, dan akhlak. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh. Ilmu tanpa iman akan menimbulkan kesombongan dan penyalahgunaan. Iman tanpa ilmu berpotensi melahirkan fanatisme buta. Ilmu dan iman tanpa akhlak tidak akan melahirkan peradaban yang beradab.
Sejarah membuktikan bahwa peradaban Islam pada masa keemasan (abad 8–13 M) berkembang pesat karena ketiganya berjalan seimbang. Para ilmuwan seperti Ibnu Sina, Al Farabi, dan Al-Khwarizmi tidak hanya ahli dalam bidang sains, tetapi juga memiliki akhlak yang luhur dan iman yang kokoh. Mereka menjadikan ilmu sebagai sarana ibadah dan pengabdian, bukan alat untuk mencari ketenaran.
Dalam konteks modern, hubungan antara ilmu dan moral ini sangat penting. Banyak krisis global hari ini perubahan iklim, kesenjangan sosial, penyalahgunaan teknologi berasal dari ilmu yang kehilangan arah etis. Maka, umat Islam harus kembali menegakkan nilai aksiologis yang menempatkan ilmu dalam bingkai iman dan akhlak.
Krisis Aksiologis Dunia Modern,
Kemajuan sains hari ini tidak lepas dari risiko besar. Bom atom, rekayasa genetika ekstrem, dan penyalahgunaan data digital menjadi contoh nyata ilmu yang kehilangan arah nilai. Al-Qur’an dalam QS. Ar-Rum ayat 41 mengingatkan, ―Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia (QS. Ar-Rum [30]: 41).
Ayat di atas mengingatkan bahwa kerusakan di darat dan laut adalah akibat perbuatan manusia. Krisis ekologis, sosial, dan moral yang terjadi saat ini menunjukkan absennya nilai Ilahi dalam pengelolaan ilmu.
Aksiologi Islam relevan untuk menjawab krisis tersebut. Pendidikan perlu menanamkan nilai moral dan spiritual, bukan hanya kemampuan kognitif. Kesadaran ekologis berbasis tauhid perlu ditanamkan. Riset harus berorientasi pada kemaslahatan—bukan hanya pada keuntungan ekonomi. Etika ilmuwan Muslim juga harus dihidupkan kembali sebagai panduan moral.
Aksiologi Islam menegaskan bahwa ilmu tidak bebas nilai. Tauhid menjadi orientasi tertinggi, mengarahkan ilmu pada kebenaran, keadilan, dan kemaslahatan. Krisis moral global hari ini adalah akibat dari ilmu yang kehilangan landasan tersebut.
Umat Islam perlu mengembalikan orientasi tersebut dalam pendidikan, penelitian, dan kehidupan sosial. Kemajuan ilmu seharusnya dinilai bukan dari kecanggihan teknologi, tetapi dari keberkahan dan kemanfaatannya bagi seluruh makhluk.

















