Catatan Redaksi | KoranAceh.id – Bank Syariah Indonesia (BSI) tampaknya menempati posisi istimewa di mata pemerintah pusat. Keberadaannya di Aceh bahkan disebut-sebut sebagai alasan utama mengapa bank ini ikut menerima suntikan dana segar sebesar Rp10 triliun dari pemerintah, sebagaimana disampaikan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Harapannya jelas: dana besar itu dapat beredar di Aceh, menggerakkan ekonomi, dan menjadi napas baru bagi masyarakat yang selama ini mengeluhkan lesunya perputaran uang di daerah.
Namun, apakah harapan itu benar-benar terwujud? Di tengah euforia kebijakan ini, muncul kabar yang beredar di kalangan publik: dana Rp10 triliun itu justru lebih banyak berputar di luar Aceh. Jika benar demikian, wajar bila ekonomi Aceh tetap melemah. Perputaran uang rendah, sektor produktif tak tumbuh, dan masyarakat justru merasa seperti ditinggalkan oleh lembaga yang seharusnya hadir untuk menegakkan nilai ekonomi syariah di Tanah Serambi Mekkah.
Pertanyaan besar pun muncul — apakah Aceh benar-benar istimewa bagi BSI, atau justru hanya menjadi “sapi perah” bagi bank ini? Dana masyarakat Aceh dihimpun, tetapi manfaatnya mengalir keluar daerah. Ironisnya, bahkan dalam hal rekrutmen pegawai, Aceh seperti tidak dianggap. Dalam proses open recruitment terakhir, Aceh tidak termasuk dalam wilayah penerimaan. Warga Aceh yang ingin bekerja di BSI harus menyeberang ke Sumatera Utara — seolah tanah sendiri bukan tempat untuk tumbuh dan berkontribusi.
Transparansi adalah kunci. Masyarakat Aceh berhak tahu — berapa sebenarnya porsi tenaga kerja lokal yang terserap di BSI? Ke mana aliran dana yang dihimpun dari tabungan dan deposito masyarakat Aceh itu disalurkan? Apakah benar digunakan untuk membiayai ekonomi rakyat di Aceh, atau justru keluar dari wilayah ini?
BSI semestinya tidak alergi terhadap pertanyaan publik. Keterbukaan data dan kejujuran justru menjadi fondasi kepercayaan. Bila BSI benar-benar berkomitmen terhadap Aceh, maka sudah saatnya membuktikan — bukan sekadar menjadikan Aceh sebagai simbol syariah, tetapi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang adil dan berkeadilan.
Masyarakat Aceh tidak menuntut lebih — hanya ingin memastikan bahwa keberadaan BSI di bumi syariat ini benar-benar membawa manfaat bagi rakyatnya, bukan sekadar mengambil manfaat dari mereka.[]

















