Filosofi Sepakbola ala Guardiola: Dari Dominasi Hingga Krisis di Manchester City

Manajer Spanyol berjaya di liga-liga top Eropa, sementara
tim-tim mereka mendominasi panggung internasional. Namun, filosofi taktis yang
menginspirasi dominasi ini kini menghadapi tantangan baru di bawah tekanan
zaman.

koranaceh.net | Sepakbola Spanyol kembali mendominasi dunia. Dari keberhasilan Spanyol meraih
gelar juara Eropa, Ballon d’Or yang disabet Rodri, hingga kemenangan Real
Madrid di Liga Champions, tahun 2024 menjadi bukti keunggulan Spanyol.

Tidak
hanya itu, manajer asal Spanyol juga memimpin liga-liga top seperti Premier
League, Bundesliga, dan Ligue 1. Namun, di balik euforia ini, tantangan baru
muncul bagi filosofi permainan yang telah lama menjadi identitas mereka.

Timnas Spanyol saat merayakan kemenangan Euro 2024 di Olympiastadion di Berlin pada 14 Juli 2024. (Foto: Antara).

Dominasi Spanyol dan Gaya Bermain yang Teruji Waktu

Tahun 2024 adalah tahun emas bagi sepakbola Spanyol. Tim
nasional mereka kembali berjaya di kancah Eropa, sementara klub-klub besar
seperti Real Madrid mengangkat trofi Liga Champions. Rodri, sosok sentral di
lini tengah, tak hanya menjadi tulang punggung timnya tetapi juga meraih status pemain terbaik dunia versi Ballon
d’Or.

Di tingkat klub, manajer asal Spanyol mendominasi. Premier
League, Bundesliga, dan Ligue 1 musim ini dipimpin oleh pelatih-pelatih
Spanyol. Lima klub Liga Inggris bahkan kini dilatih oleh manajer asal negeri
Matador. Keberhasilan ini melanjutkan tradisi panjang dominasi sepakbola
Spanyol yang dibangun dari gaya bermain berbasis penguasaan bola dan pressing
ketat.

Jonathan Wilson, jurnalis dan analis sepakbola kawakan asal Inggris. (Foto: koranaceh.net).

Namun, gaya ini bukan tanpa risiko. “Beroperasi dengan garis
pertahanan tinggi memang efektif menekan lawan, tetapi sekaligus meninggalkan
ruang di belakang yang bisa dieksploitasi,” tulis Jonathan Wilson, jurnalis sepakbola senior asal Inggris, disadur
dari theguardian.com, pada Minggu, 29 Desember 2024.

Situasi ini, lanjut Jonathan,
membuatnya teringat pada Liverpool saat musim 2020/2021 yang sempat mengalami keterpurukan
akibat gangguan kecil pada sistem permainan mereka.

Krisis di Manchester City: Tantangan Bagi Guardiola

Ironisnya, Pep Guardiola, arsitek utama filosofi modern
sepakbola Spanyol, kini menghadapi tantangan terbesar dalam kariernya bersama
Manchester City. Kekalahan dari Tottenham di Piala Carabao menjadi awal dari
kehancuran permainan sistematis yang selama ini menjadi ciri khas City.

Salah satu isu utamanya adalah integrasi Erling Haaland ke
dalam sistem Guardiola. Meskipun memberikan City variasi serangan yang lebih
kaya, Haaland dianggap tidak sepenuhnya cocok dengan pendekatan berbasis
penguasaan bola dan kontrol atas ruang.

Raut kecewa Erling Haaland setelah timnya ditahan imbang Feyenoord 3-3 dalam pertandingan dalam pertandingan Liga Champions 2024/2025 di Etihad Stadium, Manchester pada Rabu (27/11/2024). (Foto: Getty Images).

“Haaland lebih menyukai bola yang dimainkan
cepat ke depan, sementara filosofi Guardiola menuntut penguasaan hingga tim
berada dalam posisi aman untuk mengantisipasi serangan balik,” tutur Jonathan.

Masalah City jadi semakin parah tanpa kehadiran Rodri. Ketidakhadiran
gelandang bertahan ini menonjolkan kerentanan City terhadap serangan balik
cepat yang acapkali dimanfaatkan lawan mereka. Musim ini, City telah memberikan 25 peluang fast break kepada lawan,
terbanyak kedua setelah West Ham.

Dominasi Pep Guardiola di dunia sepakbola tidak diragukan lagi. Hampir semua tim kini mengadopsi pressing tinggi dan penguasaan bola sebagai
filosofi dasar yang terinspirasi dari sistem Guardiola. 
Semua tim mencoba menerapkan filosofi itu. Namun, dalam sepakbola modern yang kian pragmatis ini, gaya permainan ala guardiola saja tidak cukup. Mereka, perlu terus menerus beradaptasi.

Pep Guardiola memperhatikan permainan timnya di pinggir lapangan. (Foto: x/@ManCity).

Bahkan Pep sendiri juga melakukannya. Terlihat dalam beberapa musim terakhir, ia sering memasukkan beragam variasi dalam
strategi dan pendekatan taktisnya.
Tetapi, tantangan terbesar muncul dari fakta bahwa filosofi permainan “pure” Guardiola seperti yang diwujudkannya ketika menaungi Barcelona pada era emas mereka, kini telah kehilangan daya kejutnya.

Saat sepakbola memasuki era baru pragmatisme, warisan taktik
Guardiola tetap menjadi fondasi, meskipun tantangan untuk terus berevolusi
semakin mendesak. Bagi Spanyol dan para pelatihnya, era dominasi ini adalah
momen manis, tetapi seperti buah yang matang, mereka harus siap menghadapi
risiko pembusukan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *