Home / Internasional / Siapa Mohamed Hamdan Dagalo, Pimpinan Paramiliter yang Kini Kuasai Sudan?

Siapa Mohamed Hamdan Dagalo, Pimpinan Paramiliter yang Kini Kuasai Sudan?

KoranAceh.id | Internasional – Khartoum, Nama Mohamed Hamdan Dagalo, atau lebih dikenal sebagai Hemedti, kini menjadi sosok paling berpengaruh sekaligus paling ditakuti di Sudan. Di tengah perang saudara yang menghancurkan negeri itu, pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) yang dipimpinnya kini menguasai hampir separuh wilayah negara tersebut.

Dalam beberapa pekan terakhir, pasukan RSF berhasil merebut kota strategis El-Fasher, benteng terakhir militer Sudan dan sekutunya di wilayah barat Darfur.

Perebutan kota itu memperkuat posisi Hemedti dalam konflik berkepanjangan yang telah menjerumuskan Sudan ke jurang kelaparan, kekerasan, dan krisis kemanusiaan.

Pengepungan dan Krisis Kemanusiaan

Selama 18 bulan terakhir, RSF mengepung El-Fasher, menyebabkan penduduk kota mengalami kekurangan makanan parah.

Sekelompok pakar ketahanan pangan yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengonfirmasi, Senin (3/11), bahwa wilayah tersebut kini menghadapi ancaman kelaparan besar-besaran.

Hemedti tampil di tengah situasi ini sebagai figur yang paradoksal: dihormati sekaligus dibenci.

Ia dipuja para pengikutnya karena keteguhan dan disiplin militernya, namun dicap kejam oleh lawan-lawannya — dan oleh dunia internasional — atas berbagai dugaan kekerasan terhadap warga sipil di Darfur dan wilayah lain.

Latar Belakang Sederhana

Hemedti lahir sekitar tahun 1974 atau 1975 di wilayah barat Sudan, meski tanggal dan tempat kelahirannya tak pernah tercatat secara resmi.

Ia berasal dari suku Mahariya, bagian dari komunitas Rizeigat, kelompok etnis Arab penggembala unta yang tersebar di wilayah Chad dan Darfur.

Pada dekade 1970–1980-an, keluarganya bermigrasi ke Darfur bersama pamannya, Juma Dagolo, untuk menghindari konflik bersenjata dan mencari padang rumput yang lebih subur.

Putus sekolah di usia remaja, Hemedti kemudian beralih berdagang unta lintas gurun antara Libya dan Mesir.

Pada masa itu, Darfur merupakan wilayah miskin dan terabaikan di bawah pemerintahan Presiden Omar al-Bashir. Tidak ada hukum yang kuat, dan kekuasaan lokal banyak dipegang oleh kelompok bersenjata.

Dari Janjaweed ke RSF

Ketika konflik besar meletus di Darfur pada 2003, milisi Arab yang dikenal sebagai Janjaweed — termasuk kelompok yang dipimpin pamannya, Juma Dagolo — dituduh melakukan serangan brutal terhadap desa-desa suku Fur, Masalit, dan Zaghawa.

Kekerasan itu memicu pemberontakan besar-besaran dari kelompok-kelompok etnis non-Arab yang menuduh pemerintah pusat mengabaikan mereka.

Sebagai tanggapan, Presiden Bashir memperluas kekuatan Janjaweed menjadi ujung tombak operasi kontra-pemberontakan. Dari sinilah Hemedti mulai menonjol.

Pasukannya dikenal kejam namun efektif di medan perang. Mereka menumpas pemberontakan dengan cara yang kemudian memunculkan kecaman internasional: membakar desa, memperkosa, merampok, dan membunuh.

Beberapa tahun kemudian, Janjaweed direorganisasi menjadi Rapid Support Forces (RSF) — sebuah kekuatan paramiliter resmi di bawah Kementerian Dalam Negeri Sudan. Hemedti menjadi komandannya.

Dengan posisi ini, ia menjadi salah satu tokoh paling kuat di Sudan, terutama setelah membantu menggulingkan Presiden Omar al-Bashir pada 2019.

Figur Kontroversial

Kini, RSF di bawah komando Hemedti telah menjelma menjadi kekuatan militer yang menandingi tentara nasional.

Pertempuran antara RSF dan militer Sudan yang dipimpin Jenderal Abdel Fattah al-Burhan telah menghancurkan negara itu sejak April 2023, menewaskan puluhan ribu orang, dan memaksa jutaan warga mengungsi.

Bagi sebagian pendukungnya, Hemedti adalah sosok kuat yang “lahir dari rakyat biasa” — simbol perlawanan terhadap elite militer lama Sudan.

Namun bagi banyak pihak lain, ia adalah perwujudan baru dari kekuasaan brutal yang menindas warga sipil demi ambisi pribadi.

Hemedti sering tampil dalam pernyataan publik menyerukan rekonsiliasi nasional, namun di lapangan, pasukannya terus menekan wilayah-wilayah strategis di Darfur, Kordofan, dan bahkan mendekati ibu kota Khartoum.

Sudan di Persimpangan

Dengan kekuatan militer yang kini hampir seimbang antara RSF dan tentara nasional, Sudan berada di persimpangan sejarah.

Kemenangan Hemedti mungkin akan mengubah wajah politik Sudan secara permanen — namun juga membuka babak baru ketegangan etnis dan kekuasaan bersenjata yang sulit dikendalikan.

Di antara reruntuhan kota dan penderitaan rakyat, nama Mohamed Hamdan Dagalo tetap menggema — bukan hanya sebagai panglima perang, tetapi sebagai cermin dari luka panjang Sudan yang belum sembuh.(dbs)

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *