Potret Seorang Juru Bicara yang Tumbuh dari Aktivisme Jalanan ke Ruang Kekuasaan Aceh
KoranAceh.id | Catatan Redaksi – Dalam lanskap politik Aceh yang penuh dinamika, nama Muhammad MTA sering muncul dalam ruang-ruang perdebatan publik, konferensi pers pemerintahan, hingga polemik antar-elite lokal. Namun, pertanyaan tentang siapa sebenarnya MTA masih sering mengemuka, terutama ketika ia kembali tampil sebagai Juru Bicara (Jubir) Pemerintah Aceh di bawah gubernur yang berbeda—suatu pola langka di Aceh yang penuh polarisasi politik.
MTA bukan sekadar sosok birokrat komunikasi pemerintah. Ia adalah produk dari zaman, dari sejarah panjang konflik Aceh, reformasi nasional, dinamika gerakan sipil, dan pertarungan narasi di ruang publik. Ia pernah menjadi aktivis jalanan, tahanan politik, perumus politik lokal, staf khusus gubernur, dan kemudian Juru Bicara tiga gubernur yang berbeda. Sederhananya: MTA adalah cermin perjalanan Aceh yang terus berubah.
Akar Aktivisme: Dari Simpang Tiga ke Simpang Lima
Muhammad MTA lahir di Sigli, 1 Mei 1979, tumbuh di Simpang Tiga, Pidie—daerah yang lama menjadi denyut jantung dinamika sosial Aceh. Pendidikan dasarnya ia tempuh di sana sebelum kemudian merantau ke Banda Aceh, masuk IAIN Ar-Raniry (kini UIN) pada tahun 2000.
Masa kuliahnya bertepatan dengan gelombang kebebasan pasca-Reformasi, ketika berbagai kelompok sipil berani menyuarakan gagasan yang sebelumnya tabu. Salah satu yang paling menonjol adalah Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA)—organisasi yang mendorong referendum sebagai solusi politik bagi Aceh. MTA masuk ke sana, menjadi bagian generasi mahasiswa yang memilih idealisme, bukan kenyamanan.
Ia tidak hanya menjadi massa aksi. Ia menjadi aktor pergerakan. Dari demonstrasi damai hingga aksi simbolik, termasuk bersama kelompok HANTAM (Himpunan Anti Militer), MTA bahkan pernah terlibat dalam pengibaran bendera GAM di Bundaran Simpang Lima Banda Aceh, dalam aksi menyerukan gencatan senjata. Aksi itu membawanya ditangkap pada masa darurat militer, dituduh makar, dan divonis sembilan tahun penjara di Lapas Jantho.
Namun sejarah selalu punya belokan tak terduga. Tsunami 2004 mengubah segalanya—bukan hanya bagi Aceh, tetapi juga bagi orang-orang seperti MTA. Perjanjian damai Helsinki tahun 2005 membawa amnesti politik. MTA bebas, bersama ratusan tahanan Aceh lain yang sebelumnya dianggap ancaman negara.
Pasca-Damai: Dari Gerakan Sipil ke Politik Lokal
Damai melahirkan struktur baru: UU Pemerintahan Aceh (UU 11/2006), kewenangan lebih luas, dan kanal politik formal. SIRA, tempat MTA berproses, ikut terlibat dalam perumusan awal Partai Aceh—meski kemudian arah dan pilihannya berkembang berbeda.
Pada Pilkada 2006–2007, ketika Aceh pertama kali menggelar pemilihan gubernur langsung pasca-damai, MTA berada dalam barisan pemenangan Irwandi Yusuf – Muhammad Nazar, pasangan independen yang dianggap mewakili gerakan sipil Aceh. Di situlah MTA mengasah kemampuan politiknya: komunikasi massa, strategi kampanye, membaca dinamika elite lokal, dan memahami psikologi pemilih Aceh.
Sejak itu, banyak pengamat menyebut MTA sebagai salah satu anak muda Aceh yang paling mengerti alam politik lokal—baik yang tampak di permukaan maupun yang berlapis-lapis di balik tirai.
Pintu Masuk ke Pemerintahan: Dari Stafsus ke Jubir
Tahun 2017, MTA masuk ke lingkaran resmi kekuasaan: Staf Khusus Gubernur Aceh bidang Politik dan Keamanan, pada periode kedua Irwandi Yusuf. Ketika Irwandi terjerat kasus dan digantikan oleh Nova Iriansyah, MTA justru tidak tersingkir.
Sebaliknya, pada 2021, Nova menunjuk Muhammad MTA sebagai Juru Bicara Pemerintah Aceh. Sebuah keputusan yang memunculkan pertanyaan: mengapa MTA?
Padahal sudah ada dua jubir: Saifullah Abdulgani (SAG) dan Wiratmadinata. Namun, Nova memilih MTA. Banyak yang menilai, karena:
- MTA memahami Aceh secara struktural dan kultural.
- Ia bisa menjelaskan persoalan sensitif tanpa memperburuk keadaan.
- Ia dipercaya publik, termasuk media, karena lugas dan tidak bertele-tele.
Ketika kritik terhadap Nova memuncak—Aceh disebut daerah termiskin di Sumatra, DPR Aceh menyebut Nova sebagai “Gubernur Terburuk Sepanjang Sejarah Aceh”—MTA menjadi tameng yang berdiri paling depan. Tidak semua orang mampu memikul peran itu. Tetapi ia lakukan.
Tahan Benturan Politik: Peristiwa Paripurna 2023
Nama MTA kembali mencuat pada September 2023 ketika ia diusir dari ruang Rapat Paripurna DPRA atas permintaan anggota Fraksi Partai Aceh, Khalili. Penyebabnya: MTA pernah menyebut anggota DPRA “kanak-kanakan” dalam pernyataannya kepada media.
Namun peristiwa itu bukan pengusiran dari Partai Aceh atau konflik personal; itu adalah gesekan biasa antara Jubir Pemerintah Aceh dan legislatif—wilayah yang sejak lama sering panas-dingin.
Tetap Jubir Meski Gubernur Berganti
Ketika Pejabat Gubernur Achmad Marzuki (AM), mantan Pangdam IM, diangkat pada 2022, MTA sempat “di-off-kan”. Tetapi hanya sebulan. AM kembali menarik MTA menjadi Jubir, mengakui kemampuannya mengelola informasi dan krisis komunikasi.
MTA bahkan menjadi figur yang tetap berdiri ketika banyak pihak menekan AM agar dicopot, termasuk gugatan YLBHI di PTUN Jakarta. Namun ia tetap kalem: tidak melewati batas wewenang, hanya menyampaikan bahwa AM bekerja sesuai mandat presiden.
Ketika AM akhirnya diperpanjang masa jabatannya oleh Presiden Jokowi, MTA kembali ada dalam lingkar terdekat yang menyampaikan pesan-pesan pemerintahan.
Kembali Lagi: Diangkat oleh Mualem (2025)
November 2025 mencatat babak baru:
Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) kembali menunjuk Muhammad MTA sebagai Juru Bicara Pemerintah Aceh, kali ini berdampingan dengan Teuku Kamaruzzaman.
Dengan demikian, MTA menjadi satu dari sedikit orang yang:
- menjadi Jubir pada era Irwandi (sebagai staf khusus komunikasi),
- menjadi Jubir era Nova,
- kembali menjadi Jubir era Achmad Marzuki,
- dan kini ditarik menjadi Jubir pada era Mualem.
Ini bukan sekadar soal kemampuan komunikasi. Ini menandakan bahwa MTA adalah figur yang dipercaya lintas kubu politik—sebuah kualitas yang langka dalam politik Aceh.
Mengapa Hanya MTA?
Dari catatan perjalanan itu, dapat disimpulkan: Ada alasan mengapa MTA selalu kembali dipanggil.
- Ia tidak membawa agenda pribadi.
Banyak jubir ingin lebih; MTA justru bekerja sebagai jembatan, bukan sebagai pemain politik. - Ia paham Aceh luar-dalam—politik, konflik, budaya, sejarah.
- Ia mampu mengkomunikasikan hal sulit dengan bahasa yang dapat diterima publik.
- Ia tidak terjebak fanatisme kelompok.
Dari SIRA, ke lingkar Irwandi, ke Nova, ke Marzuki, hingga ke Mualem—ia tetap profesional. - Ia tahan tekanan dan tidak mudah goyah.
Dari penjara politik, konflik DPR, hingga rotasi jabatan, MTA tetap tegak.
Karena itulah, setiap kali pemerintahan Aceh membutuhkan seseorang yang mampu “menceritakan peristiwa seindah warna aslinya”, nama yang muncul hampir selalu sama: MTA.
Penutup: Pesan untuk MTA
Aceh adalah ruang yang penuh riuh—antara harapan dan luka, antara kritik dan pujian, antara perubahan dan kekecewaan. Di ruang itu, seorang juru bicara bukan hanya penyampai pesan. Ia adalah penjaga narasi agar publik tidak tenggelam dalam rumor, tetapi memahami realitas sebagaimana mestinya.
Di ujung kisah panjang ini, pesan kepada MTA tetap sama: “Lanjutkan, seindah warna aslinya. Nyang na bek ta peutan, nyang tan bek ta peuna.” Pesan J Kamal Farza seperti dikutip kba.one.[]

















