KoranAceh.id | Tajuk – Persoalan Hak Guna Usaha (HGU) di Aceh bukan sekadar urusan administrasi pertanahan. Ini adalah masalah kompleks yang sudah menumpuk selama puluhan tahun dan menyentuh banyak kepentingan — mulai dari masyarakat adat, perusahaan, hingga pemerintah daerah dan pusat.
Selama ini, upaya penyelesaian HGU di Aceh sering kali terhenti di tataran wacana. Padahal, banyak HGU perkebunan dan pertambangan yang sudah habis masa berlakunya, tidak dimanfaatkan sesuai izin, bahkan melanggar hak masyarakat di sekitarnya. Tanpa dasar hukum yang kuat, penyelesaian hanya akan bersifat reaktif dan sementara.
Instruksi Gubernur memang bisa menjadi langkah awal, namun jelas tidak cukup. Aceh membutuhkan Peraturan Gubernur (Pergub) sebagai pedoman teknis, dan lebih jauh lagi, Qanun Aceh tentang HGU untuk memberi kepastian hukum. Qanun ini penting agar kewenangan pengelolaan dan pengawasan lahan tidak tumpang tindih, serta memastikan hasilnya berpihak kepada kepentingan rakyat Aceh.
Jika dibiarkan tanpa kepastian hukum, HGU yang bermasalah hanya akan terus menjadi sumber konflik dan ketimpangan ekonomi di daerah. Saatnya Pemerintah Aceh mengambil langkah konkret, melibatkan semua pihak — dari DPR Aceh, lembaga adat, akademisi, hingga masyarakat sipil — untuk menyusun aturan yang tegas dan berkeadilan.
HGU bukan sekadar soal izin lahan, tapi soal kedaulatan dan keadilan ekonomi Aceh.
Instruksi gubenur hanya sebatas solusi sementara dan administratif. Untuk perubahan yang bertahan lama dan memberi kepastian hukum, tetap diperlukan aturan formal (Pergub atau—lebih kuat lagi—Qanun). Berikut rangkuman praktis yang bisa dilakukan tanpa membuat peraturan baru, sekaligus langkah yang ideal jika ingin solusi permanen.
Instruksi Gubernur hanya Langkah yang bisa dilakukan tanpa membuat aturan baru (cepat, bersifat sementara)
- Instruksi Gubernur/Surat Edaran
- Bisa memerintahkan moratorium penerbitan izin baru, audit HGU, atau peninjauan ulang pemanfaatan lahan. Berguna untuk menghentikan kerusakan sementara.
- Penegakan administratif
- Pencabutan izin administrasi yang jelas melanggar, penjatuhan sanksi administratif, pemblokiran akses operasional sampai kepatuhan dipenuhi.
- Perjanjian Voluntari / PKS dengan Perusahaan
- Negosiasi ulang konsesi, program CSR untuk pemulihan, kesepakatan pembagian manfaat bagi masyarakat terdampak.
- Aksi penegakan terpadu (satgas)
- Operasi gabungan dinas teknis, penegak hukum, dan aparat daerah untuk menghentikan aktivitas ilegal (mis. pembukaan lahan tanpa izin).
- Mediasi dan Rekonsiliasi Konflik
- Libatkan tokoh adat, pemerintah kecamatan, NGO untuk menyelesaikan sengketa lahan secara damai.
- Audit & Transparansi Data
- Pemetaan ulang HGU, publikasi data kepemilikan dan batas lahan untuk memberi tekanan publik dan memudahkan penindakan.
Keterbatasan pendekatan tanpa hukumnya
- Rentan digugat karena instruksi/putusan administratif lebih mudah dibatalkan melalui jalur hukum.
- Tidak mengatur aspek yuridis jangka panjang seperti kepastian hak masyarakat adat, tata kelola penerbitan HGU, atau mekanisme sanksi yang jelas.
- Berpotensi tumpang-tindih kewenangan (pusat vs. daerah) tanpa payung hukum yang jelas.
Solusi jangka panjang (harus ada aturan)
- Peraturan Gubernur (Pergub) untuk teknis pelaksanaan dan pengawasan di tingkat provinsi.
- Qanun Aceh yang mengatur HGU sawit & pertambangan sebagai landasan hukum daerah—akan memberi kekuatan hukum lokal dan kepastian bagi semua pihak.
- Regulasi pelaksanaan (permen/putusan) untuk detail teknis (pemetaan, masa berlaku, sanksi, pemulihan lingkungan, partisipasi masyarakat).
Rekomendasi aksi sekarang (gabungan cepat + jangka panjang)
- Keluarkan instruksi moratorium sementara sambil memulai audit HGU terpadu.
- Bentuk satgas audit (BPN, Dinas ESDM/Perkebunan, Kejaksaan, DPRK, unsur adat).
- Publikasikan hasil audit sebagai dasar politik untuk mendorong Pergub dan kemudian Qanun.
- Libatkan masyarakat adat sejak awal agar solusi hukum nanti inklusif dan tahan uji.[]
















