
Penulis:
Rosadi Jamani | Ketua Satupena Kalbar
INTISARI
- Dana daerah sering sengaja ditahan di bank agar berbunga. Bunga hasil “uang tidur” itu kerap dinikmati pejabat, bukan rakyat.
KOLOM | KoranAceh.id — Ente pernah dengar ndak, ada keluhan, “Dana pusat belum turun”? Padahal uangnya bukan belum turun, tapi sengaja “dirapel” tiga bulan, enam bulan, bahkan sampai akhir tahun. Proyek baru jalan menjelang tutup anggaran, biar terkesan sibuk. Padahal, duitnya sudah lama parkir manis di bank, ngaso sambil beranak bunga. Nah, itu salah satu cara licik kepala daerah menikmati “bonus diam-diam” dari uang rakyat. Mari kita bongkar praktik ini, sambil seruput kopi tanpa gula, wak.
Kalau nuan masih percaya uang rakyat itu langsung nyangkut ke jalan berlubang, sekolah reyot, atau perut warga miskin, selamat — pian baru saja lulus dari Negeri Dongeng. Di dunia nyata, uang itu nggak langsung kerja. Ia istirahat dulu di tempat yang sejuk dan ber-AC: rekening kas umum daerah. Semua bermula dari Transfer Keuangan Daerah (TKD), mahakarya Kementerian Keuangan yang katanya demi pemerataan pembangunan, tapi sering berakhir jadi rekening meditasi pejabat.
Prosedurnya sih kelihatan suci. Kemenkeu lewat KPPN menyalurkan dana ke rekening kas umum daerah, biasanya di Bank Pembangunan Daerah (BPD). Bank yang senyumnya manis, tapi giginya kayak lintah. Dana dari APBN itu kemudian resmi jadi bagian dari APBD. Nah, dari situlah uang rakyat mulai belajar tidur nyenyak sambil beranak bunga.
Begitu bunga mulai tumbuh, dimulailah babak ajaibnya. Bank tidak kenal tidur siang. Setiap rupiah di rekening dihitung bunganya per detik. Secara hukum, bunga itu milik kas daerah. Secara moral, mestinya juga begitu. Tapi di realitas politik lokal, moral cuma asesoris kekuasaan. Ada kepala daerah yang lihai berkata, “Ini buat optimalisasi aset.” Padahal, aset yang dioptimalkan cuma aset pribadinya. Bunga bank pun tersesat arah — dari kas daerah nyasar ke rekening pribadi, dibungkus jargon “kerja sama strategis”.
Sementara itu, di Jakarta, Presiden Prabowo Subianto baru saja teken Perpres Nomor 79 Tahun 2025, menaikkan gaji PNS mulai Oktober. Katanya demi kesejahteraan aparatur. Lucunya, sebagian daerah belum menyalurkan anggaran itu karena uangnya masih tidur di bank — beranak bunga tapi belum sempat dipakai. Jadi jangan heran kalau ada PNS di daerah yang belum merasakan “kenaikan gaji”, sebab dananya masih ngopi bareng direktur bank.
Bayangin, ratusan miliar rupiah dari DAU, DAK, dan DBH ngendon di bank. Di atas kertas, statusnya “menunggu kegiatan”. Tapi di balik meja, artinya “menunggu bunga”. Kepala daerah yang licik cukup senyum simpul, “Pembangunan bisa nanti, bunga bisa sekarang.”
Di luar sana, rakyat antre di puskesmas berharap ada dokter. Ironis, uang rakyat malah beranak di bank, sementara nyawa rakyat melayang — seperti kasus ODGJ yang ditembak tiga polisi di OKU. Dunia memang adil bagi yang punya saldo.
Begitulah filsafat bunga versi birokrat. Uang rakyat boleh tidur di bank, asal bangunnya membawa bunga yang tak jelas siapa yang memetik. “Anak uang” itu tak sempat sekolah, langsung diculik pejabat lihai yang pura-pura tak tahu. Tak ada bukti hitam putih, tapi aroma parfum pejabat masih menempel di kursi direktur bank setiap rapat malam tiba. Ini bukan teori konspirasi, cuma simfoni bunga dan kuasa.
Padahal, aturan sudah jelas. Peraturan Menteri Keuangan mengatur bahwa bunga bank hasil TKD wajib disetor ke pendapatan daerah. Tapi pengawasan di lapangan sering seperti jaring laba-laba berlubang. BPK berkali-kali menemukan bunga deposito APBD yang raib tanpa jejak, bahkan tak dicatat. Nilainya miliaran per daerah, bisa triliunan jika dikumpulkan nasional. Kalau BPK nanya, jawabannya selalu menenangkan hati: “Sudah disetor, kok.” Disetor ke mana? Mungkin ke langit — bersama doa rakyat kecil.
Inilah permainan halus tapi menggigit. Kepala daerah tak mencuri uang rakyat — mereka cuma mendiamkan uang itu agar beranak. Ketika bunga tumbuh, mereka memetiknya sambil bilang, “Rezeki jangan ditolak.” Filosofinya sederhana: kalau rakyat menabung pahala, pejabat menabung bunga. []

















