KoranAceh.id | Tajuk – Pernyataan terbaru Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, tentang utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) kembali menimbulkan tanda tanya besar: mengapa angka dan sikapnya selalu berubah seiring waktu? Dulu, ia meyakinkan publik bahwa proyek ini tak akan membebani APBN dan seluruh pembiayaan ditanggung oleh konsorsium. Kini, ketika utang membengkak hingga ratusan triliun, Luhut justru menyebutnya sebagai sesuatu yang wajar dan masih dalam batas aman.
Publik tentu berhak bertanya: mana yang benar—Luhut yang dulu atau Luhut yang sekarang? Inilah bentuk inkonsistensi kekuasaan yang berulang: ketika kebijakan bermasalah, narasinya disesuaikan; ketika kritik muncul, datanya diubah. Padahal, proyek kereta cepat ini bukan sekadar urusan infrastruktur, tetapi cermin dari tata kelola negara yang kerap menukar akuntabilitas dengan pencitraan.
Dalam demokrasi yang sehat, pejabat publik harus bertanggung jawab atas ucapannya, bukan sekadar mengubah narasi ketika realitas tak sesuai dengan janji. Rakyat tidak bisa terus dipaksa menelan kebijakan “asal jalan”, sementara beban utang menumpuk dan manfaatnya belum jelas terasa.
Tajuk ini bukan soal personal, melainkan soal prinsip: negara tidak boleh dijalankan dengan logika pembenaran, tetapi dengan kejujuran dan konsistensi. Karena ketika kebohongan menjadi kebijakan, maka busuknya bukan di proyek, tapi di sistem—dan itu berawal dari Luhut ke Luhut.[]
















