
INTISARI
“Di saat negara bicara efisiensi, desa justru tenggelam dalam pesta seremonial tanpa hasil.”
Tajuk & Analisis | KoranAceh.id — Bimtek; sebuah istilah yang dulu terdengar mulia, kini berubah menjadi simbol pemborosan di banyak gampong. Ia lahir dari niat baik: meningkatkan kapasitas aparatur desa agar lebih profesional dalam mengelola keuangan publik. Namun di lapangan, Bimtek justru menjelma jadi ritual tahunan yang memakan biaya besar tanpa hasil nyata.
Ketika pemerintah pusat gencar menggaungkan efisiensi anggaran, di bawah justru ada ironi yang tak kalah memalukan: dana desa yang hampir satu miliar per gampong, sebagian terserap hanya untuk urusan perjalanan, konsumsi, dan sertifikat pelatihan.
“Kalau uang habis di meja rapat dan Bimtek, kapan rakyat merasakan hasilnya?”
Padahal, dana desa sejatinya adalah urat nadi pembangunan rakyat. Ia seharusnya menjadi bahan bakar ekonomi produktif, memperkuat Badan Usaha Milik Gampong (BUMG), dan membuka ruang kerja bagi masyarakat lokal. Namun kini banyak BUMG yang hanya hidup di papan nama: modal habis, kegiatan tak berjalan, laporan dibuat seadanya.
Lebih menyedihkan, transparansi masih jauh dari ideal. Warga desa jarang tahu ke mana arah penggunaan dana itu. Rencana kegiatan tak dipublikasikan, laporan keuangan tertutup rapat. Yang tersisa hanyalah kabar bahwa “anggaran sudah habis”, tanpa penjelasan kemana perginya.
Butuh Pengawasan yang Bernyali
Sudah waktunya Inspektorat dan aparat pengawas turun ke lapangan bukan sekadar memeriksa angka, tapi mengukur manfaat. Apakah pelatihan itu melahirkan inovasi? Apakah dana BUMG benar-benar menggerakkan ekonomi rakyat? Ataukah hanya menjadi catatan administratif di akhir tahun?
Karena korupsi tak selalu berwujud uang yang hilang — kadang ia hadir dalam bentuk pembiaran yang disengaja.
“Bimtek tanpa arah adalah penyakit kronis birokrasi desa — menular, mengakar, dan membunuh kepercayaan.”
Desa seharusnya menjadi laboratorium kemajuan, bukan kuburan harapan.
Kini saatnya kepala desa, pengawas, dan warga bersama-sama menegakkan transparansi dan akuntabilitas. Sebab uang yang mengalir ke desa adalah amanah rakyat, bukan warisan yang boleh dihabiskan sesuka hati. Tanpa keberanian untuk berubah, dana desa akan tetap menjadi mitos kesejahteraan — indah di angka, hampa di hasil. []
















