Oleh Iskandar Norman.
Sebagai orang Aceh saya mencoba jawab pertanyaan ini dari sisi orang Eropa, berdasarkan pada referensi yang pernah ditulis oleh kalangan Eropa itu sendiri.
Yuk, mari kita lihat dan baca satu persatu pernyataan mereka tentang Aceh.
Sejarawan Belanda Paul Van’t Veer dalam buku De Acheh Oorlog halaman 10 dan 76, terbit di Amsterdam tahun 1969. Ia menulis:
“Tidak ada satu kerajaanpun yang dapat disamakan atau yang dapat dibandingkan dengan Kerajaan Acheh. Ini sudah kita tahu sekarang. Satu peperangan yang lamanya lebih setengah abad, seratus ribu orang mati, dan setengah miliar uang Belanda abad ke-19 yang mahal itu sudah habis untuk biaya, sudah menjadi bukti dari perkara ini. Kita sudah tahu ini sekarang. Tapi kita tidak tahu itu di tahun 1873 (saat perang Aceh diproklamirkan). Biar kenyataan-kenyataan ini tegak berdiri, jangan disembunyikan, supaya orang-orang di negeri Belanda, atau lebih-lebih lagi di Pulau Jawa, dapat mengetahui dan dapat memahami, manusia yang bagaimana bangsa Aceh itu.”
Wilfred C Smith dalam buku Islam in Modern History, halaman 38 terbitan Pricenton tahun 1957 menulis.
“Pada abad ke-16, Dunia Islam sudah menjadi berkuasa kembali, kaya raya, mewah dan penuh kebesaran. Orang-orang Islam masa itu – Maroko, Istambul, Isfahan, Agra, Aceh – adalah Pembina-pembina sejarah yang berhasil.”
Sementara itu, surat kabar The New York Times pada edisi 15 Mei 1873 dalam tajuknya tentang Aceh menulis:
“Sekarang boleh dikatakan bahwa sudah dimulai pendidikan Aceh kepada keturunan Kristen yang baru, segera akan diketahui umum bahwa bangsa Aceh itu bukanlah suatu bangsa biadab yang tidak berurat saraf (tidak pandai berpikir), tetapi mereka adalah bangsa Islam yang baik sekali dan bangsa pahlawan.”
Media lainnya adalah Harper’s Magazine, Amerika Serikat edisi Agustus 1905 dalam tulisan “The One Hundred Year War of Today” menulis tentang Perang Aceh begini:
“Pada waktu yang sama Belanda mulai menelan Pulau Jawa. Usaha penjajahan mereka sedikit demi sedikit diperluas dari Jawa ke Sumatera. Tapi Belanda tidak pernah berani meluaskan penjajahan mereka ke wilayah orang-orang berani di Utara (The Fighting North) di mana bangsa Aceh masih cukup jantan melawan si penjajah.”
Itulah beberapa referensi yang sempat saya kutip untuk menjawab pertanyaan ini. Dan sebenarnya masih banyak referensi-referensi lain yang senada dengan itu. Semoga bermanfaat.(*)
